Lihat ke Halaman Asli

TMII Rumah Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14277736051087284201

Saya sudah dua kali berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yakni tahun 2013 dan 2014. Awalnya saya diajak oleh seorang perempuan cantik yang kini menjadi istri saya. Di dalam taman itu, kami dan ribuan pengunjung menikmati keindahan alam, kekayaan budaya, peninggalan sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beberapa hiburan. Perjalanan itu sangat menyenangkan, apalagi bisa sambil berdiskusi dengan orang yang dicintai mengenai apa yang dilihat, dirasakan, dipikirkan, dan diimpikan.

Foto: Pemandangan indah di TMII (dokumen pribadi)

Kunjungan pertama sangat berkesan, sehingga tahun berikutnya kami kembali ke sana. Entah mengapa, saya selalu rindu ke tempat yang indah itu. Hingga sekarang. Namun sayang, saya bukanlah penduduk Jakarta yang gampang ke sana. Dulunya saya bisa berkunjung ke TMII karena kebetulan lagi liburan. Seperti  pepatah: sambil menyelam minum air. Sambil menemui pacar yang bekerja di Jakarta, bisa menikmati kekayaan budaya Nusantara di TMII. Saya yakin, banyak pengunjung TMII yang tetap ingin kembali berkunjung ke rumah budaya Indonesia tersebut.

1427773745373154810

Foto: Bersama dengan orang yang pertama mengajakku ke TMII (dokumen pribadi)

Pada 20 April 2015, TMII berusia 40 tahun. Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-40 tersebut, TMII menyelenggarakan lomba blog dengan tema: TMII Perekat Budaya Bangsa. Saya pikir lomba ini sangat penting untuk menampung gagasan dan masukan masyarakat untuk kepentingan (budaya) bangsa Indonesia. Terus terang, saya sangat tertarik untuk bisa ikut meramaikannya. Tapi hingga tanggal 30 Maret, Pukul 23.00 WITA, tak satu kata pun bisa saya tuliskan. Rasanya sangat sulit menuliskan apa yang ada dalam pikiran tentang TMII sebagai perekat budaya bangsa. Tak tahu dimulai dari mana. Mungkin karena sudah lelah setelah bekerja satu harian.

Akhirnya, saya memutuskan menutup laptop dan siap-siap untuk istirahat. Tiba-tiba muncul ide, saya mengambil alat perekam yang saya pesan dari Glodok beberapa hari lalu. Saya dekati sang istri. Layaknya seorang wartawan, saya mewawancarai dia tentang pengalaman dan pandangannya tentang TMII. Ternyata dia sudah lima kali berkunjung ke sana.  Saya baru tahu saat itu juga. Dia pun bercerita panjang tentang pengalaman dan pandangannya tentang TMII sebagai perekat budaya. Setelah sekitar setengah jam saya mewawancarainya, saya menyimpan hasil rekaman. Berharap pagi harinya, 31 Maret 2015, saya bisa merangkumnya menjadi sebuah tulisan. Masing-masing pengalaman dan pandangan kami,  akan saya “kawinkan” yang melahirkan sebuah “anak” bernama tulisan.

TMII Rumah Kita

Kita tentu patut bersyukur dan bangga dengan adanya TMII yang merupakan gagasan dari Ibu Tien Soeharto. Miniatur Indonesia yang digagas tahun 1970 ini bertujuan untuk membangkitkan rasa bangga dan cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia. Setelah melalui proses pembangunan, akhirnya TMII diresmikan tanggal 20 April 1975. Hingga saat ini, TMII yang luasnya 150 hektare terus berbenah dan melakukan penyesuaian.

Dalam hubungannya dengan perekat budaya bangsa, TMII bisa dikatakan sebagai rumah budaya Indonesia. Di rumah itulah kita dari berbagai latar belakang seperti suku dan agama, dipersatukan melalui simbol-simbol. Di rumah itu budaya kita dijaga, dirawat, dihargai, dan dilindungi. Ketika kita mengunjungi TMII, kita merasa mengelilingi Indonesia. Bagaimana tidak, anjungan daerah seluruh provinsi terdapat di sana. Dari Sabang sampai Merauke. Tidak cukup satu hari untuk mengunjungi seluruh anjungan daerah.

Dengan mengunjungi anjungan suatu daerah, kita mengenal budaya daerah tersebut misalnya filosofi, aksara, rumah adat, senjata tradisonal, pakaian tradisional, alat musik, tarian, dan sebagainya. Dari pengenalan tersebut, kita semakin mengenal Indonesia yang terdiri dari berbagai perbedaan. Perbedaan itu merupakan kekayaan yang patut dilestarikan dan dikembangkan. Semakin banyak anjungan daerah yang kita kunjungi, maka semakin banyak kita mengenal kekayaan budaya bangsa.

Dari pengenalan itu melahirkan rasa bangga dan mencintai budaya bangsa. Dari pengenalan itu juga akan memupuk nilai-nilai nasionalisme, yakni: hormat menghormati, kerja sama, tidak memaksakan kehendak, adil, mencintai sesama manusia, rela berkorban, kekeluargaan, dan menghargai karya orang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Parmoedya Ananta Toer, “Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau tidak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya”. Dengan demikian, dari pengenalan tersebut kita diharapkan melakukan sesuatu untuk bangsa ini, khususnya untuk menjaga dan melestarikan budaya bangsa.

Sebagai orang yang hidup merantau, saya merasa di kampung sendiri ketika mengunjungi TMII. Di TMII terdapat rumah adat Batak Simalungun. Sebagai orang Simalungun yang singgah di rumah adat itu, saya merasa bangga dan bisa melepas rasa rindu pada kampung halaman. Hanya saja waktu itu, anjuangan daerah ini sepi. Kadang di situ saya merasa sedih. Tapi saya tidak tinggal diam, saya berkeliling melihat isinya. Mata saya tertuju pada filosofi, pakaian adat, dan alat musik Simalungun.

1427773849420967975

Foto: Filosofi Batak Simalungun “Habonaron do Bona” (dokumen pribadi)

14277739131855693522

Foto: Alat musik tradisonal Batak Simalungun (dokumen pribadi)

Seringkali pengunjung anjungan daerah tidak melihat atau memahami filosofi dari suatu daerah, bahkan daerahnya sendiri. Padahal filosofi tersebut merupakan dasar yang sangat penting untuk dipahami. Memang masing-masing anjungan daerah memiliki keunikan. Tapi yang terpenting adalah makna di balik simbol-simbol dari bangunan tersebut. Di anjuangan daerah Batak Simalungun misalnya, terdapat filosofi “Habonaron do Bona”. Artinya adalah “kebenaran itu adalah pokok”. Oleh karena itu, pihak TMII juga perlu lebih inovatif dan berorientasi mutu dalam mengenalkan nilai-nilai budaya masing-masing daerah kepada pengunjung. Agar pengunjung juga bisa memahami simbol-simbol budaya yang ada di TMII.

Di TMII ini juga terdapat bangunan keagamaan yang diwakili beberapa rumah ibadah agama di Indonesia, yaitu: Mesjid Pangeran Diponegoro, Gereja Katolik Santa Catharina, Gereja Protestan Haleluya, Pura Penataran Agung Kertabhumi, Wihara Arya Dwipa Arama, Sasana Adirasa Pangeran Samber Nyawa, dan Kuil Konghucu Kong Miao. Mungkin sebagian pengunjung di area bangunan keagamaan merasa heran dan kagum ketika melihat bangunan yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Dengan adanya berbagai bangunan keagamaan tersebut, pengunjung diajak untuk menghargai perbedaan agama di Indonesia. Lagi-lagi dari pengenalan tersebut, pengunjug merasa bahwa orang lain yang berbeda agama dengan dirinya, adalah saudara dalam satu rumah bernama Indonesia. Dalam hal ini TMII sebagai rumah mininya. Kesadaran dan semangat persaudaraan itu sangat penting sebagai perekat budaya bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesadaran itu pada gilirannya meminimalisir konflik karena perbedaan keyakinan.

1427774097969180673

Foto: Kelenteng Kong Miao (dokumen pribadi)

14277741521640275860

Foto: Wihara Arya Dwipa Arama (dokumen pribadi)

Kita juga semakin mengenal budaya bangsa dari berbagai museum yang ada di dalam TMII. Diantaranya adalah Museum Olahraga, Musemum Indonesia, Museum Keprajuritan Indonesia, Museum Timor Timur , Museum transportasi, Museum Listrik dan Energi Baru, Museum Pusat Peragaan IPTEK, Museum Telekomunikasi. Dengan mengunjungi museum-museum tersebut, kita akan semakin mengenal sejarah dan budaya Indonesia dari masa ke masa. Di satu sisi ada rasa bangga, bangga dengan kekayaan budaya, peninggalan sejarah, prestasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia. Di sisi lain ada kegelisahan, ternyata bangsa ini harus lebih sungguh-sunguh lagi belajar dan berkarya supaya tidak ketinggalan dari bangsa lain.

14277742421986846933

Foto: Museum olahraga di TMII (dokumen pribadi)

Selain rumah budaya, TMII menjadi rumah yang menyenangkan bagi siapa pun. Mulai dari anak-anak hingga orangtua, semua bisa menikmatinya. Di sini terdapat beberapa taman flora dan fauna, diantaranya: Taman Anggrek, Taman kaktus, Taman Melati Taman Bunga Keong Emas, Taman Apotek Hidup, Taman Burung, Akuarium Ikan Air Tawar. Selain bisa melihat kekayaan flora dan fauna di Indonesia, kita juga memperoleh pengetahuan baru. Kemudian yang terpenting adalah pengunjung semakin menghargai dan melestarikan lingkungan alam.

Kemudian, di rumah kita ini juga terdapat berbagai hiburan dan sekaligus menambah pengetahuan, yakni: Kereta gantung, Istana Anak-anak Indonesia, Perahu Angsa Arsipel Indonesia, Desa Wisata, Kolam renang Snow Bay, Teater IMAX Keong Mas. Teater IMAX Keong Mas misalnya, memutar film bertemakan kebudayaan dan lingkungan Nusantara dan film-fim box office. Meskipun demikian, wisata atau hiburan ini merupakan pelengkap atau daya tarik dalam mendukung TMII sebagai perekat budaya bangsa.

1427774324826481655

Foto: Kereta mini TMII (dokumen pribadi)

Meskipun saya sudah dua kali ke TMII, namun jika ada kesempatan, saya akan kembali mengunjungi rumah budaya Indonesia tersebut. Karena di sana saya merasa seperti berada di rumah atau kampung halaman sendiri. Dimana latar belakang saya terwakili lewat anjungan daerah dan bangunan keagamaan. Saya juga merasa berada di rumah mini Indonesia karena bertemu dengan banyak sudara dari berbagai daerah lewat simbol-simbolnya serta peninggalan sejarah dan kekayaan alamnya.

Semoga melalui TMII, masyarakat semakin mengenal, mencintai, melindungi, melestarikan, dan mengembangkan budaya bangsa. Selamat ulang tahun TMII ke-40.

Manado, 31 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline