Lihat ke Halaman Asli

Sedikit Membahas Nilai Estetika di Film Black Adam (2022)

Diperbarui: 24 Oktober 2022   02:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Baru saja dirilis pada tanggal 21 Oktober 2022 ini, Film Black Adam yang disutradarai oleh Jaume Collet-Serra dan dibintangi oleh Dwayne “The Rock Johnson” merupakan adaptasi superhero komik DC dengan nama yang sama, yang bercerita tentang Teth-Adam seorang pahlawan masa lalu yang bangkit kembali di masa modern ini.

Tanpa terlalu banyak membocorkan tentang surprise di dalamnya, hal paling menarik menurut saya yang disajikan oleh film ini adalah sisi artistik dan estetik yang hadir dalam adegan-adegan pertarungannya. Jujur, dari banyak film superhero yang saya telah tonton, Black Adam pantas dinobatkan sebagai film superhero dengan adegan pertarungan yang paling indah. Ya, “indah”, bukan “epik” karena sudah banyak film superhero yang memiliki adegan-adegan pertarungan yang keren di dalamnya, tapi untuk yang indah bisa dibilang sangat jarang. Keindahan ini sendiri tidak luput dari kehadiran karakter Cyclone yang menggunakan angin sebagai kekuatan utamanya.

Uniknya, tidak seperti kekuatan angin yang umumnya ditampilkan di film fiksi di mana angin diperlihatkan berwarna bening ataupun abu-abu. Angin yang digunakan oleh Cyclone justru didominasi oleh warna hijau yang dihiasi sepercik-duapercik warna kromatik. Perpaduan warna ini alhasil membuat visual angin Cyclone terlihat bak kanvas yang dihiasi oleh lukisan abstrak. Selain dari warna yang indah, physics atau bentukan dari anginnya Cyclone juga menjadi hal lainnya yang berkontribusi terhadap keindahan dari adegan pertarungan di film ini. Angin hijau ini memiliki sifat dan bentukan layaknya kain sutra yang mengembang di udara, karena selain sebagai kekuatan, angin ini juga berfungsi sebagai extension dari kostum supernya Cyclone. Dari perpaduan kedua aspek ini, maka lahirlah karakteristik estetik Cyclone yang mana setiap ia muncul, ia terlihat seperti balerina berbusana hijau yang menari bebas di udara.

Oke, cukup membahas tentang Cyclone. Karena masih ada unsur estetika lainnya yang menarik untuk dibahas di film ini, yaitu latar yang digunakan di dalamnya. Kota Kahndaq diceritakan sebagai kota kelahiran Teth-Adam lima ribu tahun yang lalu sebelum dibangkitkan kembali di dunia modern. Secara arsitektur dan kultural kota Kahndaq dapat dibagi menjadi dua periode, namun keduanya jelas-jelas mengambil inspirasi dari gaya arsitektural timur tengah, terutama persia. Yang pertama adalah periode kuno, di mana pada waktu itu bagunan-bagunan dominannya berbentuk kotak, berdinding batu bata yang berwarna coklat tanah, dan beratap dedaunan. Namun ada satu bangunan yang terlihat berbeda dan cukup mencolok jika dibandingkan dengan bangunan lainnya, yaitu kastil yang menjadi tempat tinggal raja. Walaupun jika secara keseluruhan kastil ini masih menganut unsur arsitektur yang sama dengan bangunan-bangunan lainnya yang didominasi oleh unsur-unsur balok, tetapi jika dilihat interiornya justru kastil ini malah terlihat lebih dekat dengan gaya arsitektur Yunani yang kental dengan pilar, walkway, dan air.

Dari sisi kultural, pakaian-pakaian yang dikenakan juga terlihat masih sangat sederhana di mana para pria bertelanjang dada dan bercelana kain, dan wanitanya berbusana kain dari atas ke bawah, sedangkan para prajurit mengenakan baju zirah dan helm yang terbuat dari logam juga membawa senjata yang masih terbilang sederhana seperti pedang, tombak, dan panah.

Yang kedua adalah Kahndaq di masa modern. Pada masa ini tentu saja telah terjadi banyak perubahan dari Kahndaq lima ribu tahun yang lalu, namun seperti negara-negara timur tengah pada umumnya di sekeliling kota terlihat sisa-sisa bangunan masa lalu yang kini telah menjadi monumen dan destinasi wisata, contohnya adalah kastil raja Kahndaq yang sekarang hanya tersisa kursi takhtanya saja. Secara arsitektur Kahndaq modern justru lebih terlihat seperti kota-kota di Afganistan yang padat dan kumuh. Selain dari sisi arsitektur, dari sisi kultural juga vibes negara Afganistan terasa kental pada Kahndaq, mulai dari cara berbicara dan berpakaian warganya, alat transportasi, dan pasar-pasarnya.

Dengan segala keunikan artistiknya, sayangnya Black Adam belum bisa menyajikan jalan cerita yang sama uniknya. Cerita yang disajikan bisa dibilang cliché dan mainstream–walaupun tidak buruk juga–sehingga terasa biasa saja. Tetapi walaupun begitu film Black Adam masih sangat layak untuk ditonton terutama untuk adegan pertarungannya yang indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline