Lihat ke Halaman Asli

Tulisan Pertamaku (Isinya Galau Doang)

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melihat burung burung yang bermain bersama awan, terbang dengan indahnya membelah langit, menembus sepinya horizon dan tanpa gentar menghiraukanbumi yang ingin menariknya jatuh. Tergerak hati ini juga ingin menjadi bagian kecil dari mereka, menjadi penyambut semesta yang menyanyikan lagu selamat pagi kepada dunia kala setiap insan membuka mata saat terjaga dari mimpi malamnya.

Aku tahu bagaimana cara melakukannya, hanya berlari kencang, melompat tinggi, dan sambil merentangkan tangan berpikir bahwa semua asa akan menjelma menjadi sayap yang menerbangkanku jauh. Namun kenyataan yang datang menghampiri hanya meninggalkan rasa sakit karena terjatuh dalam debu patah arang yang secara perlahan – lahan mulai memudarkan kobaran api jiwa muda.

Kecewa, tapi aku sadar realitas kehidupan masih terus berjalan, tanpa mempedulikan semua yang terjadi dan menutup telinga terhadap segala rintihan kekalahan maupun teriakan kemenangan yang menghiasi atmosfer gelanggang pertunjukkan.

Kini kupalingkan wajah dari angkasa untuk sebuah melihat lingkungan yang ada sekelilingku. Ada yang menanam dalam gigihnya,sementara ada pula yang duduk dan bersenandung menikmati hasil yang mereka raih, namun tidak sedikit yang tidak peduli dan menjadi bagian dari kerumunan yang datang lalu pergi. Semuanya bergerak perlahan dan mengalir sesuai dengan ketukan irama yang diayunkan oleh waktu.

Aku tersenyum pahit, bukanlah hembusan angin lalu yang selalu pergi dalam diam sering berbisik bahwa setiap anak manusia memiliki warna jiwa dan corak lahir yang berbeda? Lalu mengapa benih yang diberikan seringkali tidak serupa dengan apa yang kita impikan?

Sang buku berkata bahwa pintu kehidupan dapat dibuka dengan mengitari alur bumi, yakni mengikuti putarannya dalam langkah syukur yang tidak pernah terhenti walau lelah telah menghampiri. Tetapi apakah semuanya itu semudah daun yang jatuh jika hatimu ingin ke timur sedangkan kamu sudah ditentukan untuk pergi ke arah matahari terbenam?

Aku ingin menjadi pohon besar yang memberikan perlindungan, atau bungayang terus merekah hingga disukai semua orang. Namun taburan benih ini hanyalah menampilkan rumput yang malu – malu menatap dunia; rapuh, dimakan hewan, diinjak orang, kemudian dibawa pergi dan dilupakan.

Mengapa setiap orang tidak diberi kebebasan untuk memilih apa yang diinginkan, bukankah itu tidak adil? Terkadang, cahaya yang dimiliki seseorang bersinar lebih terang daripada orang lain disekitarnya.

Dalam mimpipun aku sering aku bertanya, apakah aku merupakan bagian terkecil dari euporia panggung pertunjukkan ini? Bahkanaku juga tidak tahu peran yang kumainkan sekarang, mengapadimulai dan sampai kapan semuanya akan berhenti.

Namun lingkaran pertanyaan yang tak berakhir mengajarkanku bahwa sepanjang hidup merupakan sebuah lintasan yang harus dilalui, hanya waktu yang dapat memberikan semua jawaban terhadap segala tanda tanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline