Lihat ke Halaman Asli

Riva Julianto

Penulis Lepas

Aku Belajar Maka Aku Ada

Diperbarui: 28 Mei 2016   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebalikan dari tren sosial media bahwa “aku selfie maka aku eksis”. Di dunia pendidikan adagium “aku belajar maka aku ada” harus menjadi falsafah bagi setiap orang. Adagium ini memang terinspirasi dari pernyataan terkenal cogito ergo sum(aku berpikir maka aku ada) dari Rene Descartes, seorang filsuf Perancis abad pertengahan. 

Ia mengungkapkan pemikirannya ini sebagai tanggapan atas situasi dan kondisi saat itu di mana agama (saat itu diwakili oleh Gereja yang berkuasa atas ilmu pengetahuan) menjadi pusat dari semua ilmu pengetahuan dan pemikiran masyarakat. 

Semua perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dikontrol dan harus mendapatkan persetujuan dari Gereja. Pemikiran ini pula yang menjadi dasar dari berkembanganya ilmu pengetahuan dan perlawanan terhadap pengekangan ilmu pengetahuan setelah abad pertengahan.

Apakah pemikiran ini masih relevan dengan masa kini, terutama Indonesia? Oh tentu saja. Malah makin menguatkan dan menjadi keniscayaan bagi siapapun. Bukan hanya para pendidik, peserta didik, keluarga atau masyarakat. Setiap orang adalah pribadi pembelajar. Manusia sejatinya terlahir sebagai manusia pembelajar dan dapat dididik (homo educandus) serta makhluk berakal budi (animal rationale). 

Jadi pada dasarnya setiap manusia adalah makhluk pembelajar sejak lahir sampai ajal menjemputnya. Tanpa bimbingan atau guru pun manusia sebenarnya dapat belajar secara otodidak. Alam adalah guru terbaik manusia. Cerita tentang tokoh Tarzan adalah contoh klasik di mana seorang anak manusia dididik dan dibesarkan oleh alam.

Masa kini adalah eranya revolusi informasi berkat kehadiran teknologi internet dan digital. Jutaan, bahkan milyaran informasi, bertebaran di dunia maya. Semua jenis informasi tersedia di sini mulai dari rahasia negara sampai gosip di sosial media. Itu sebabnya setiap orang dituntut untuk dapat mengolah dan mempelajarinya. Dunia digital dan internet hanyalah kumbangan data dan informasi yang masih perlu diolah dan dipelajari. Peran alam banyak digantikan oleh jaringan internet. 

Semakin banyak orang lebih senang belajar kepada internet daripada kepada alam. Belajar dari alam bukan saja mensyaratkan pengetahuan kognitif manusia, tapi juga pengalaman empiris. Manusia harus mengalami sendiri gejala dan kebesaran alam. Dari pengalaman bersama alam inilah manusia dapat mengkonstruksi ilmu pengetahuan seperti apa yang dilakukan Newton dengan menjatuhkan apel atau Benjamin Franklin dengan menerbangkan layang-layang.

Manusia dapat bertahan hidup dan menjadi makhluk berakal karena ia mampu belajar. Tanpa belajar manusia tidak akan eksis, bahkan dapat terancam punah. Kepunahan manusia bukan saja karena faktor alam, tapi juga karena tindakan dan ulah manusia. Akal dan kepintarannya jika tidak digunakan secara bijak dapat mengancam eksistensi manusia sendiri. 

Ilmu yang dipelajarinya bukan digunakan untuk mempertahankan hidupnya, tapi untuk mengejar kepuasan akan nafsu konsumtif dan kesenangan duniawi sehingga menghabiskan sumber daya alam yang terbatas. Namun dengan ilmu pengetahuan yang dipunyainya pula manusia terus-menerus mencari sumber daya alternatif untuk menjaga keberlangsungan hidupnya, termasuk mengeksplorasi planet lainnya seperti Mars.

Pendidikan adalah suatu proses pada diri manusia untuk memahami alam semesta dan kehidupan ini melalui ilmu pengetahuan yang dapat diwariskan, dipelajari dan dieksplorasi. Namun sayangnya ilmu pengetahuan yang dipelajari tidak bebas nilai. Mengapa? Tidak sedikit peristiwa kejahatan dilakukan dan terjadi dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dan didapatkan pelaku kejahatan. Bisa juga ilmu digunakan demi keuntungan pribadi dengan cara menindas manusia lain atau mengekploitasi alam. 

Lalu, bagaimana caranya agar manusia tidak menyalahgunakan ilmu pengetahuan yang didapatnya? Jawabannya adalah pendidikan moral dan etika. Pendidikan moral dan etika harus menjadi pondasi utama untuk menopang dan melahirkan generasi yang bermoral dan beretika. Jika meminjam slogan Jokowi, maka kesadaran inilah yang disebut sebagai proses revolusi mental.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline