Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Prabowo Kroni Soeharto?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1395942398722306370

[caption id="attachment_328983" align="aligncenter" width="240" caption="Prabowo S. Djojohadikusumo dan Titiek Soeharto (tempo.co)"][/caption]

Kedudukan sebagai menantu presiden membuat Prabowo S. Djojohadikusumo selalu dibayang – bayangi nama besar HM. Soeharto, mantan mertuanya yang selama 32 tahun menjadi penguasa negeri hijau khatulistiwa. Sampai akhirnya posisi menantu pun lengser, status kroni Soeharto hampir pasti tetap melekat kuat pada dirinya.

Karir militer yang cemerlang pun kerap kali dihubungkan dengan statusnya sebagai menantu kesayangan presiden. Padahal, tak sembarang perwira mampu menyelesaikan tugas lapangan dengan hasil yang memuaskan seperti Prabowo. Menembak mati Presiden Fretilin dan atau membebaskan sandera bukanlah prestasi sederhana. Dan akhirnya sejarah membuktikan, demi menghentikan derap langkah sang Jenderal, harus diciptakan konspirasi besar termasuk melibatkan kekuasaan dan campur tangan keluarga istana sendiri.

Hubungan Prabowo dengan keluarga Cendana terjalin setelah Prabowo memperistri murid ayahnya di kampus, Titiek Soeharto. Sang murid yang tak pernah berani duduk di depan dan selalu memilih bangku paling belakang di setiap kelas ayahnya membuat Prof. Sumitro tak mengenali siapa gadis yang dikenalkan oleh Prabowo kepadanya. Bagi Sumitro, pernikahan Prabowo dan Titiek Soeharto adalah historical accident, yang kelak terbukti dengan berakhirnya karir militer sang putra secara tragis akibat tikaman dari keluarga sang besan.

Keluarga Prof. Sumitro dan Soeharto secara kultural bagaikan langit dan bumi. Soeharto berasal dari Yogya dan Ibu Tien adalah bangsawan Surakarta. Kombinasi ini sudah barang tentu menciptakan kehidupan keluarga yang amat kental nuansa jawanya, sangat - sangat feodal. Nenek Prabowo, Ibunda Prof. Sumitro sangat anti feodalisme, itulah sebabnya ia meminta suaminya RM. Margono Djojohadikusumo agar tidak usah memakai gelar kebangsawanan KRT.

Sedangkan Keluarga Prof. Sumitro Djojohadikusumo sendiri adalah keluarga yang amat terbuka, sangat modern, egaliter, terdidik dari institusi pendidikan terbaik di berbagai negara. Dan dalam banyak situasi, meski orang Jawa namun terkadang tak paham dengan tradisi Jawa. Ibunda Prabowo, Dora Sigar adalah wanita Minahasa yang lama tinggal di Eropa, sedangkan Prof. Sumitro sendiri berasal dari Banyumas yang dikenal sebagai pemberontak. Leluhur Prof. Sumitro adalah Pangeran Diponegoro.

Keluarga Prof. Sumitro sudah jelas tak mampu mengikuti “ciri khas” keluarga Cendana. Prof. Sumitro yang ceplas – ceplos apa adanya sangat sering memberi nasehat kepada Soeharto, terlebih mengenai peranan anak – anak dan kroni – kroni Soeharto. Raut kemarahan tak pernah ditumpahkan Soeharto di depan Sumitro meski sesungguhnya Soeharto amat tersinggung, sebaliknya Soeharto justru mengungkapkan kesadarannya akan kesalahan yang terjadi, namun Prof. Sumitro sangat terheran – heran setelah Soeharto kembali melakukan banyak kesalahan yang sama. Di akhir masanya, Soeharto lebih banyak mendengarkan dan menuruti tuntutan anak dan kroninya daripada nasehat Prof. Sumitro, terlebih setelah Prof. Sumitro menyatakan tentang kebocoran 30% dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993.

Hubungan Prabowo dan Keluarga Cendana setali tiga uang dengan hubungan perbesanan Prof. Sumitro dengan Soeharto. Sudah lama ipar – ipar Prabowo menaruh dendam kepada Prabowo. Hal ini sangat wajar karena Prabowo mewarisi sikap Ayahnya yang kerap terbuka dan terus terang apa adanya, bila ada sesuatu yang tidak benar dan tidak sesuai maka Prabowo langsung mengemukakan rasa ketidak senangannya itu.

Prabowo sangat prihatin dan menyesalkan sepak terjang bisnis anak – anak presiden. Prabowo pernah menentang pembelian pesawat dan alat persenjataan yang dimark-up hingga empat kali lipat dari harga sebenarnya.  Prabowo dengan sengit menyebut perbuatan itu sebagai bentuk penjarahan yang sangat zalim. Komentar - komentar pedas nan tajam dari Prabowo tentu menyakiti hati keluarga Soeharto. Tatkala Tutut sangat mendominasi penyusunan kabinet 1997, Prabowo kembali melancarkan aksi protesnya. Prabowo berujar, “ Mengapa orang – orang terbaik disingkirkan ?”.

Kelakukan Prabowo yang kesekian kalinya itu tentu semakin membuat telinga Keluarga Cendana semakin panas. Setiap kali berselisih paham dengan Prabowo, anak – anak Soeharto pasti segera mengadu kepada Ayahandanya tercinta, Soeharto.

Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 adalah puncak dari ketegangan Prabowo dan Keluarga Soeharto. Cendana marah besar, mengapa Prabowo membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR, mereka curiga bahwa itu disengaja oleh Prabowo sebagai bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan sang penguasa. Tutut dan Mamiek marah-marah kepada Prabowo, “Kamu ke mana saja dan mengapa membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR ?” Prabowo dengan sengit balik bertanya, “ apakah aku harus menembaki para mahasiswa itu ?”.

Perbedaan mendasar secara kultur kekeluargaan, latar belakang politik dan akhir karier kemiliteran membuat saya menyimpulkan bahwa sangat naif jika Prabowo disangkakan sebagai kroni Soeharto. Jangankan bergantung kepada Soeharto, Prof. Sumitro mendidik anak – anaknya agar jangan bergantung bahkan pada bantuan dan kemampuan orang tua. Sangat berbeda dengan sistem keluarga Soeharto yang memberikan fasilitas tanpa batas kepada anak – anaknya bahkan kroninya. Tatkala Hashim ( adik Prabowo ) baru saja selesai sekolah, Hashim berujar pada ayahnya agar ia bisa berbisnis di Indonesia. Prof. Sumitro ketika itu masih menjabat di kabinet. Menanggapi permintaan anaknya, Prof. Sumitro mengatakan, “ selama saya masih jadi menteri, please jangan di Indonesia “. Sehingga akhirnya Hashim bekerja di luar negeri pada waktu itu.

Akhir tahun 1977, Prof. Sumitro datang kepada Pak Harto dan mengatakan, “Nanti tahun 1978 Bapak akan mempertimbangkan susunan kabi­net, mohon saya jangan dimasukkan lagi, saya sudah mendekati 60 tahun. Hashim mau berkarir di bidang bisnis, selama saya masih di dalam pemerintahan,  nggak saya perkenankan….”

Dan yang mengejutkan Prof. Sumitro, Pak Harto justru bilang begini, “Kalau begitu Pak Mitro enggak adil terhadap anak-anak.”

Nah, dari sudut pandang memperlakukan anak – anak saja saya dapat menyimpulkan Prof. Sumitro dan Soeharto memiliki karakter yang jauh berbeda, rasanya tidak masuk akal sang putra, Prabowo S. Djojohadikusumo hasil pendidikan kemandirian yang anti ketergantungan bahkan kepada orang tua sendiri, bisa menjadi kroni yang sangat bergantung pada kemudahan dan fasilitas yang dimiliki Soeharto. Jika pada akhirnya Prabowo ternyata kaya raya juga, ingatlah bahwa Hashim S. Djojohadikusumo adalah pebisnis ulung yang bisa saja mereka berdua memiliki bisnis yang dirintis secara bersama – sama.

So, masihkah berpikir Prabowo kroni Soeharto ?

* M. Ricky Rivai *




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline