Lihat ke Halaman Asli

Serigala Tak Pernah Menelan Nenek

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seorang nenek tiduran di atas kasur yang empuk, namun ia gelisah bukan main. Tubuhnya gemetar, tulangnya remuk, dan lidahnya terasa dingin. Ia telah menulis surat pada cucunya bahwa ia sakit, meskipun ia sadar bahwa itu keputusan yang sulit. Berkat surat itu, cucunya akan menjenguknya malam ini. Padahal bulan purnama akan berada di puncak yang paling tinggi.

Dan datanglah sang cucu, membawa sekeranjang kue dan mengenakan kerudung berwarna merah. Sang Nenek berusaha menyambutnya dengan wajar dan ramah. Namun ternyata, apa yang terjadi tak bisa ditutupi lagi. Sang Cucu sedikit demi sedikit mulai bisa menyadari.

“Nek, kenapa matamu menjadi begitu besar?”

Sang Nenek berkeringat dingin, namun mencoba untuk berkelakar.

“Tak apa, cucuku yang cantik. Mata besar ini bisa menatapmu dengan lebih baik.”

Namun tak juga merasa lega, Sang Cucu kembali bertanya.

“Nek, kenapa hidungmu menjadi begitu besar?”

Sang Nenek bingung, tapi berusaha tetap sabar.

“Tak apa, cucuku yang murah senyum. Hidung besar ini untuk membaui kuemu yang harum.”

Sang Cucu tampak tak puas, ia tak ingin berhenti membahas.

“Nek, kenapa mulutmu menjadi besar, dan gigi-gigimu menjadi tajam?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline