Lihat ke Halaman Asli

Rivah

LimaGaris

Harapan Rantauan

Diperbarui: 17 November 2022   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat bekerja bukan di Kota tempat kelahiran, kita sebut ini adalah rantauan. Apalagi di Pulau yang harus meninggalkan tanah Kita dibesarkan. Ada juga yang bilang, Kita dilahirkan dengan susah-susahnya menempuh segala cobaan hingga menanggalkan pendidikan formal di Kampung kelahiran, namun merealisasikan ilmu bahkan menjadi budak di Kota-Kota untuk mencari kebahagiaan. Seolah Kampung hanya tempat merenungkan kesusahan. 

Namun tak sedikit yang meneruskan potongan kalimat tersebut. Kita didik dengan upaya-upaya melewati kesusahan hingga tanggal pendidikan formal yang setelahnya berjuang di Negeri orang. Dengan maksud kembali dengan sebuah kesuksesan yang hanya kerap dinikmati saja. 

Prinsip anak rantauan pantang pulang bagaimanapun susah atau cobaan dirasakan. Lebih baik meminta bantuan sekitaran orang daripada mengabarkan hal tersebut ke Kampung halaman. Itu yang penulis tanyakan ke beberapa anak rantauan. 

Tulisan ini akan begitu panjang untuk diceritakan. Hanya saja, usai bekerja kita sibuk menutup mata untuk bermimpi yang lebih baik dari hari kemarin.. Sampai setelah membuka kunci layar gawai pun bingung membuka aplikasi apa, karena tak begitu banyak kepentingan diluar sana dan menutup tambahan beban datang dari ruang lingkup luar pekerjaan. 

Seperti yang penulis sampaikan, Anak Rantau menderita harus sembuh tanpa banyak kata ke Keluarga mereka. 

Dan semoga lewat tulisan ini ada jalan atau obat untuk menyembuhkan derita luka ini. Cerita itu akan diteruskan sampai akhir yang tak tahu akan menyedihkan ata menyenangkan. 

Salam Berbagi

Terima Kasih




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline