Lihat ke Halaman Asli

Luka itu ...

Diperbarui: 29 November 2021   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.istockphoto.com

Riri meniup debu yang menempel di buku merah itu. Aku akan membuangnya. Buku lama, jadi tak perlu disimpan lagi. Gudang ini sudah penuh barang, harus dibuang sebagian. Tapi tak ada salahnya membaca kembali apa saja yang kutulis di sana, gumamnya.

Buku merah itu menyimpan beberapa catatan tentang pesan-pesan singkat yang dikirim Rolison belasan tahun yang lalu. Ya ampun, bagaimana bisa benda kuno ini masih kusimpan, pekik Riri. Rajin betul aku dulu mencatat segala rupa sms orang, haha. Ini harus disingkirkan. Pokoknya segala yang berbau Rolison harus dienyahkan.

Tapi Riri belum lupa bahwa di buku itu ada kutipan pesan singkat Rolison yang berbunyi, "Aku membutuhkan kamu, Ri." Kata-kata itu terpanah tepat di pusat jiwanya. Meskipun tidak lama setelah itu Rolison meninggalkannya, Riri menghargai upaya lelaki itu mengungkapkan isi hatinya. Sebesar penghargaan kasihnya pada bapak dan ibu yang sering bertanya, berapa lama di sana? Kami kangen kamu, Nak. Juga sedalam keharuannya saat teman-teman tak pernah bosan bertanya, kapan pulang? Kami merindukanmu.

Hidup jadi punya tujuan karena dirindukan orang.

Namun ia tak pernah mendengar nada yang sama dari Usman. Entah terbuat dari apa makhluk satu ini; yang kerap dikatakan lelaki ini hanya nada-nada keras sedikit menakutkan. Sungguhkah Usman membutuhkan dirinya? Sepenuh jiwa? Bukan karena maksud tersembunyi? Kalau Usman membutuhkan dirinya, mengapa caranya begitu menakutkan? O ya, tentu saja Usman suka bersikap romantis. Tapi tahukah kamu, perasaan hangat darinya hanya singkat saja. Selebihnya, ingatan Riri lebih di selubungi oleh bayangan kelam seorang Usman.

Ketika bertengkar bulan lalu, Usman mendorong tubuhnya hingga kakinya terkilir. Padahal saat itu Riri hendak berangkat ke rumah ibadah. Usman langsung pergi, dan Riri sebisanya menahan rasa sakit di pergelangan kakinya ketika menyetop taksi dan menaikinya.

Satu bulan setelah itu, perasaan Riri begitu kacau. Ia minta pertanggungjawaban Usman, tapi lelaki itu tidak peduli. Ia malah memberikan seikat mawar dan sekotak coklat. Hati Ririr semakin pedih. Usman tidak menjelaskan mengapa ia melukai tubuhnya. Lelaki ini menutup luka dengan mainan yang tidak ia butuhkan. Seikat mawar dan sekotak coklat dari Usman ia letakkan di atas meja. Tak pernah disentuhnya hingga sekarang. Ia ingin bertanya pada Usman, ada apa denganmu sehingga ketika ada masalah kamu menyelesaikan dengan pukulan?

Tiga bulan setelah peristiwa itu Riri pindah ke kota lain. Usman tidak menahannya, tapi Riri tahu ia mengirimkan mata-mata. Hanya saja, Riri tidak tahu persis siapa yang setiap jam mengawasi gerak-geriknya. Sulit membuktikan keterlibatan Usman dalam kejahatan emosional ini. Maka sulit pula baginya untuk melapor.

Sekali waktu seorang ibu bertamu. Ia memperkenalkan diri sebagai pendoa bagi orang-orang sakit. Apa yang bisa kami doakan, tanyanya. Riri menerima tawaran si ibu. "Doakan kesehatan saya ya, belakangan saya selalu gelisah dan cepat letih."

"Baiklah, mari saya doakan Anda," katanya sambil memegang tangan Riri. Ketika si ibu berdoa, Riri merasakan tubuhnya seperti diselimuti kehangatan. Barangkali Tuhan akan menolongnya pada waktu yang tepat. Hanya saja, ia perlu bersabar melewati jalan setapak iman. Jalan yang menuntunnya pada pengakuan demi pengakuan, jalan yang memampukan ia melihat kepedihan dan luka yang diderita sesamanya. Dan jalan pemulihan yang ditawarkan Allah baginya dan mungkin juga bagi Usman. ***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline