"masa lalu tidak pernah eksis ..."
Itu kata Nies, temanku. Selalu dia bilang begitu. Dan suaranya mulai kencang kalau saya tidak berhenti menceritakan si Banu, si Agus, dan si Rika di masa kuliah dulu. Meksipun kisah itu lucu, Nies tidak akan tertarik. Ia akan sedikit berminat kalau saya menanyakan kisah-kisahnya lampaunya. Itupun akan diakhiri dengan kalimat "aha, tapi itu kan dulu." Meski saya tahu persis, ia masih ingin melanjutkan ceritanya. Saya sih masih senang mendengarnya, tapi ia gengsi unuk meneruskan.
Mungkin Nies itu tipe manusia anti sejarah. Tidak suka membicarakan yang lalu-lalu. Masa lalu tidak pernah eksis, katanya. Kalau tidak eksis, kenapa banyak orang menulis peristiwa di masa lampau? Saya mengerti maksudnya, tidak eksis itu lebih kepada sikap kita untuk tidak selalu membicarakan atau mengenang-ngenangnya. Sebab, itu sudah berlalu.
Dan ia akan blingsatan kalau saya mulai bercerita yang lalu-lalu itu. Karena itu, Nies senang sekali ketika saya meminta bantuannya untuk menggiling surat-surat saya yang menumpuk di gudang dengan paper schreder. Sementara saya mengeluarkan surat-surat usang itu, Nies memasukkan lembar demi lembar ke mesin. Kadang ia memasukkan 2-3 lembar, kadang langsung lima lembar. Alat itu memang hanya mampu menggiling 5 embar kertas berat 70 gram.
Sesekali ia melihat sekilas dan mengomentari tulisan teman-teman saya. Katanya, "Ini dari si Anu ya? Kok laki-aki tulisannya kayak cewek sih?"
Hhhh, mulai deh bapak ini. Seksis. Tidak ada bedanya dengan Pandu, temanku di kantor yang tak bosan-bosannya mengomentari Rika sebagai perempuan berjiwa laki-laki karena tulisannya yang tegas dan kotak-kotak.
Sudah setengah jam dia menggiling, tapi baru 10 surat yang ia masukkan ke mesin penggiling kertas. Semua lembar surat-surat itu dia baca sekilas dan dikomentari, lalu ditambahkan dengan cerita-cerita dia di masa lalu. Idih, si Nies ini. Cuma di bibirnya saja bilang kalau masa lalu itu tidak eksis. Tapi di hatinya, masa lalu selalu eksis. Bedanya, kalau saya mengungkapkannya, dia tidak. Atau mungkin begini, dia tidak suka dengan masa lalu yang masih eksis dalam pikirannya, saya merasa baik-baik saja.
Setelah 45 menit, Nies berhenti. Pekerjaan ini membosankan katanya. Ia beranjak dan bilang mau membaca buku. Lalu meminta saya menyelesaikan sendiri urusan giling-menggiling dokumen masa lalu itu.
Saya cuma nyengir.
Saya melanjutkan pekerjaan dia. Ah, saya menemukan surat yang lucu-lucu. Giling.
Saya juga menemukan bundel draft biografi salah tokoh besar yang tak bisa diterbitkan karena si empunya tokoh keberatan kalau kisah hidupnya ditulis selagi masih hidup. "Nanti sajalah, siapa tahu saya berbalik arah dan tidak sebaik yang ditulis." Dosen saya sebaliknya. Ia berani menerbitkan biografi hidupnya dan siap mengambil risiko kalau-kalau di masa depan ia akan menjadi orang yang berbeda. Menjadi murtad misalnya (yang ia tulis dalam bahasa daerahnya). Baginya, hidup itu perjalanan dan pembelajaran.