Lihat ke Halaman Asli

Perayaan-perayaan yang Kukenang Itu

Diperbarui: 27 Desember 2018   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sbr: zonasultra.com

Perayaan bukanlah candu bagi masyarakat untuk melupakan penderitaannya. Melainkan melaluinya masyarakat dapat secara otentik mengenang apa yang telah terjadi dalam hidupnya dan kemudian menghayati dengan penekanan-penekanan baru (Theo Sundermeier).

Natal di kota ini seumpama perayaan bagi semua orang. Aku takjub ketika rekan-rekanku di sekolah --yang tidak merayakan Natal---mengingatkan Ibu Agnes bahwa mereka akan datang menghabiskan kue-kue natal. Ibu Agnes mengangguk penuh semangat. "Menghabiskan kue" hanya istilah belaka. Maksud sesungguhnya adalah bersilaturahmi. Dan hati saya tergetar ketika menyaksikan gairah para ibu --yang sebagian besar bekerudung-- itu untuk berkunjung natalan.

Bagi masyarakat di sini, baik natal maupun idul fitri adalah kebahagiaan bertetangga dan bersaudara meski berbeda keyakinan. Serius, ini bukan basa-basi lho. Itu sebabnya aku senang bisa menjadi bagian dari masyarakat yang begitu komunal di sini. Tidak seperti di kota lain yang pernah kutinggali, di sini kami hidup berdampingan selaras. Setidaknya itu yang kurasakan sejak 13 tahun yang lalu.

Sebagai pendatang, aku berusaha menyesuaikan diri sebaik mungkin. Termasuk bersikap hati-hati ketika berbincang soal-soal agama. Tapi apa yang kutemui,  justru kawan-kawan di sini yang tanpa beban berbicara tentang keyakinan masing-masing; asalkan tidak saling membenturkan satu sama lain.

Di acara-acara talk show radio, para pendengar tak sungkan janjian mau hari apa dan jam berapa berkunjung Natal. Begitu pula ketika Lebaran; kami dibuat sibuk dengan jadwal dan bersiap-siap membawa kue natal atau kue Lebaran.

Aku takjub.

Pada apa? Pada kebutuhan orang-orang untuk menikmati perayaaan, dengan kadarnya masing-masing. Sebetulnya, aku tidak asing dengan tradisi semacam ini. Ketika melewati masa kanak-kanak, keluarga kami yang Kristen tinggal di kota yang mayoritas masyarakatnya muslim. Tetapi kebiasaan atau tradisi merayakan hari raya keagaaman berjalan sangat natural. Meski belum memahami betul apa makna perayaan tersebut, hati kami hangat oleh keriuhan acara-acara itu.

Aku masih ingat ketika masih kecil, setiap kali akan merayakan Natal atau Paskah, rumah kami pasti dicat ulang. Dapur juga selalu ramai oleh orang-orang yang memasak macam-macam makanan. Kemudian para tetangga akan berdatangan. Begitu pula saat Lebaran tiba, kami sekeluarga ikut 'ramai'. Minimal menanti hantaran tibaJ dan mempersiapkan diri berkunjung ke rumah tetangga.

Menjelang Natal, satu bulan sebelumnya Mama sudah sibuk berbelanja. Dua minggu sebelum hari H, rumah dicat di semua bagiannya. Satu minggu mendekati Natal, semua kue sudah siap. Baju dan sepatu baru juga. Dan semakin mendekat harinya, di rumah dan suasana hati kami semakin semarak. Oh, senangnya. Apalagi kemudian disambung dengan persiapan menyambut Tahun Baru.

Ketika aku SMP, atas inisiatif guru bahasa Indonesia kami --Pak Budi namanya-- aku mengundang teman-teman sekolah untuk datang ke rumah pada saat Natal. Katanya, supaya teman-teman turut merasakan kesyahduan Natal dan agar kami juga memiliki kebersamaan.

Oh, betapa senangnya. Sejak tanggal 10 Desember Pak Budi mengumumkan bahwa nanti, pada tanggal 26 Desember sore, kita akan berkunjung ke rumah Emma untuk natalan. "Siapkan kue-kuenya ya?" canda Pak Budi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline