Lihat ke Halaman Asli

Untuk Juneta Prisilla

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

June,

Aku baru saja dimarahi habis-habisan oleh sahabatmu, Debi.

Hanya karena aku bertanya banyak tentang kamu, dia menganggapku seolah sudah selingkuh. Hmmm, aku tak tahu pasti apa istilahnya. Debi sempat bilang katanya aku ini terobsesi sama kamu.

Habis, bagaimana?

Sejak aku menikah kamu tidak pernah lagi sekalipun mau berbicara denganku.

Apa dosaku terlalu besar ya, sehingga bahkan sepatah katapun kamu tak sudi mengucapkannya.

Kamu ingkar janji June.

Dulu, sebelum aku memutuskan menikah dengan Dinda, kita pernah sepakat bahwa kalau pada akhirnya kita putus kamu akan tetap berteman denganku.

Tetapi apa yang terjadi? Saat aku kirimkan surat permohonan maaf padamu bahwa aku tak bisa memilihmu, kamu marah besar. Balasan suratmu sangat mengejutkanku, June.

Walau akhirnya aku mengerti, kamu pasti merasakan sakit yang luar biasa karena kita berpisah. Tetapi bukan hanya kamu yang sakit, akupun demikian. Perlukah aku sampaikan pada seisi dunia bagaimana perasaanku ketika dengan terpaksa aku memilih Dinda?

Seperti dalam cerita sinetron ya? Menurutku, bahkan lebih dari itu. Kamu tidak pernah tahu bahwa setelah Dinda mengancam akan menenggak obat penenang kalau kami batal menikah, malam itu juga aku dipanggil Kak Donnie. Kak Donnie meminta aku mau berkorban. Segera menikah, dan jangan mengulur-ulur waktu lagi. Tetapi bukan menikah dengan kamu, melainkan dengan Dinda. Mau mati rasanya menjadi orang yang seperti robot.

June sayang,

Aku bisa saja memilih kamu tanpa peduli apa kata orang.

Tetapi aku harus segera keluar dari kota yang membesarkanku. Pergi dari habitatku dan orang-orang yang sejak kecil telah bersama-sama denganku.

Tetapi, aku tidak seperti kamu yang bagaikan elang, bebas terbang kemana kamu suka. Kamu tidak masalah mau tinggal di mana saja. Ayahmu yang tentara dan suka berpindah-pindah memungkinkan kamu untuk fleksibel.

Aku lahir dan besar di kota ini, June. Aku berakar dan hidup dengan nilai-nilai yang telah membentukku. Memilih kamu berarti harus meninggalkan semua itu. Dan kamu pasti tahu bagaimana rasanya dicabut dari akar hidup-mati kita.

Oke, kamu pernah bilang siap-siap saja kalau kita dikucilkan.

Oh June, tidakkah kamu tahu kita ini berbeda? Kamu tinggal dan bekerja di kota metropolitan. Rata-rata orang di sekitarmu tidak peduli apa yang kalian lakukan. Sedangkan aku, semua keluarga dan sanak saudara tinggal di dekatku. Mereka sangat mengenal Dinda dan sudah menerimanya seperti keluarga sendiri. Kalau kami batal menikah padahal sudah bertahun-tahun berpacaran, aku akan dikucilkan. Aku bisa pergi dari kampung halamanku dan ikut denganmu. Lalu, bagaimana dengan Dinda? Dia bakal menanggung malu karena ditinggalkan tunangannya.

Oh, seandainya kita hidup di negeri orang, June. Pasti persoalan seperti ini tidak akan berat kita rasa. Orang akan menghargai apapun keputusan kita. Sedangan di kotaku? Janganlah suruh aku menjelaskan. Membayangkannya pun tidak mau.

Betul, aku dan Dinda memang pernah mempertimbangkan untuk saling melepaskan. Tidak jadi menikah. Seusai pertemuan kami dengan Ibu Hanna, kami menyadari bahwa alasan kami untuk memasuki pernikahan tidak kuat. Dindapun mengakui bahwa saat itu ia tidak terlalu yakin apakah ia betul-betul menginginkan pernikahan itu.

Sementara, akupun sangsi apakah dengan keadaan tubuh yang sudah rusak digerogoti racun narkoba masih bisa membahagiakan orang yang akan menikah denganku. Tapi harus aku akui bahwa aku lebih beruntung dari Dinda. Ada seseorang yang mencintai dan menerima aku apa adanya, yaitu kamu. Seorang Juneta Prisilla. Perempuan cantik, mandiri, dan pintar. Kadang aku bingung, bodoh semuakah para lelaki di sekitarmu sehingga mereka tidak bisa ‘menangkapmu’ June? O iya, kamu pernah bercerita bahwa bukannya tidak ada yang suka padamu, tapi mereka itu umumnya tinggi hati. Mereka datang padamu dengan berbagai atributnya: penampilan, kekayaan, jabatan, karir, termasuk .... kesalehan. Hehe, aku selalu ingin tertawa kalau kamu berkata itu June. Bukankah itu bagus? Sempurna, bukan?

Tapi kamu justru bilang bahwa semua atribut itu yang kerap membuat mereka sombong. Sangat pemilih terhadap perempuan yang akan dinikahinya.

Eh, kamu pernah cerita tentang Bang Sihol yang mati-matian suka padamu. Tapi katamu dia itu kelewat macho (macho itu apa sih June?). Tidak suka dengan kemandirianmu. Bang Sihol itu juga tidak bisa dikritik. Itu sebabnya kamu menyukai aku karena katamu, aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa dibanggakan. Narkoba telah merusak tubuhkudan kini aku hidup dari sisa-sisa kekuatan yang sudah tak seberapa. Bagi aku, itu sesuatu yang memalukan, tapi bagi kamu itu ‘kelebihan’. Dan tampaknya, seketika itu juga kita saling jatuh cinta.

Tapi kalau soal kesombongan, kamu salah June. Aku memiliki itu dalam bentuk yang lain. Yaitu rasa minder yang amat sangat. Kalau soal ini, Dindalah yang paling tahu. Kamu belum mengetahuinya karena aku sembunyikan rapat-rapat.

June,

Pernahkah kamu berpikir bahwa aku pernah merencanakan lari dari kotaku. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Dinda, aku akan bertemu denganmu dan mempersiapkan pernikahan kita. Rencana itu sudah mantap, sampai ketika suatu malam -- entah ide darimana -- aku minta pendapat Kak Monik. Dan jawabannya sungguh membuatku terkejut.

“Dit, maafkan kalau kakak bilang bahwa rencana kamu itu akan menghancurkan bukan hanya masa depanmu tapi juga masa depan Dinda dan June,” kata Kak Monik. Kami berbicara di telepon waktu itu.

“Lho, kenapa Kak?” tanyaku heran. Sebab aku bepikir, ini adalah hakku, ini adalah hidupku. Dinda tidak bisa memaksa aku harus menikah dengannya.”

“Iya Dit, tetapi situasi kalian berbeda. Dinda sangat rapuh. Selain itu keluarganya akan merasa kehilangan, mengingat sudah sedemikian dekatnya kalian. Kamu pun punya lingkungan sosial dimana kamu tidak bisa terlepas dari itu kan?”

Begitu antara lain penjelasan Kak Monik. Sungguh aku tidak percaya bahwa sahabat yang paling dekat denganmu malah melarang aku menikah. Tepatnya, ia meminta aku mempertimbangkan masak-masak kalau kita akan menikah. Kak Monik mengucapkan satu kalimat lagi, ‘kalau kalian akhirnya menikah, sebaiknya kalian pergi ke kota lain, kalau tidak mau diblacklist oleh kawan-kawan kalian’.

Kalimat itu sungguh menyakitkan buatku dan jika dipikir-pikir lagi di masa sekarang, amat aneh. Tapi yah itulah. Itu sudah terjadi.

Belakangan Kak Monik mengatakan bahwa Kak Donnie turut campur dengan masalah kita. Itupun karena Dinda mengadu pada Kak Donnie dan meminta agar aku segera melamarnya dan meninggalkan kamu.

Ohhh ... sungguh rumit situasinya saat itu June.

Andai kamu ada di sini dan melihat dari dekat masalahku.

Aku baru tahu kalau cinta ternyata sangat perih dan melukai. Meninggalkan Dinda berarti mengizinkan dia menderita, June. Tetapi, maafkan aku, maafkan aku sekali lagi, kalau aku katakan bahwa,‘lebih baik meninggalkan seorang June, karena ia tidak akan melakukan hal-hal seperti yang akan Dinda lakukan. June jauh lebih kuat dari Dinda.’

Tetapi, tentu tidak semudah berkata-kata, bukan?

Terbukti, sejak undangan kawin aku sebarkan, kamu tidak pernah lagi menghubungiku. Memang kamu pernah meminta kita bertemu untuk berbicara dari hati ke hati, membicarakan masalah kita.

Tapi June, hal itu tidak mungkin aku lakukan. Tidak mungkin!

Selain aku tidak punya cukup uang untuk bepergian, bertemu denganmu sama saja menggoyahkan tekadku untuk menikah dengan Dinda. Aku bisa berubah pikiran kalau melihat wajahmu. Aku akan gamang dan semuanya jadi mentah lagi. Jadi maafkan aku, sekali lagi maafkan aku. Aku berani bertemu denganmu kalau aku sudah diikat oleh pernikahan.

Aku bertekad bahwa setelah aku selesai menjalani ‘kewajiban’ ini, aku akan datang padamu. Membicarakan masalah kita yang sempat tertunda itu. Tetapi Debi mengatakan bahwa kamu sudah berangkat ke Tarakan dua minggu sebelum tanggal pernikahanku.

Tarakan? Kamu tidak pernah mengatakan akan ke Tarakan. Bahkan untuk magang sekalipun. Pelariankah itu? Aku mengerti. Dan aku tidak bisa menyalahkanmu. Tentu teman-temanmu di Jakarta pun akan melihat kegalauan hati kamu saat menyaksikan aku menikah dan kamu adalah orang yang ditinggalkan.

Betapa aku sangat kehilangan sejak itu, terutama saat kamu tidak mau lagi berbicara padaku. Satu bulan setelah acara pernikahan, aku dan Dinda datang ke Jakarta. Mengundang teman-teman untuk makan malam bersama. Syukuran. Walau semua sahabat kita hadir, namun ketidakhadiranmu membuat hati ini sedih, June.

Aku sempat curhat pada Debi. Kemudian Debi bilang bahwa kalaupun kamu ada di Jakarta tentu dia tidak akan datang di acara makan malam kami. Oh, aku baru sadar. Aku tentu bakal menyakiti hatimu kalau membawa Dinda ke hadapanmu. Duh, mengapa aku begitu bodoh ya?

Tetapi, aku tetap ingin bisa berbicara denganmu.

Apalagi kemudian aku ditugaskandi Jakarta. Awalnya aku berpikir, penugasan ini memudahkan aku untuk bisa lebih dekat dengan kamu. Tapi aku salah. Memang kamu pernah dua kali pulang ke Jakarta. Dan Debi selalu semangat mengajak kamu ikutan ngumpul kalau geng kita copy darat. Dari sekian banyak ajakan Debi, hanya satu saja yang kamu penuhi. Aku ada juga di situ. Tapi tampak sekali kamu menjaga jarak denganku.

Kenapa, June?

Takutkah kamu bahwa aku akan jatuh cinta kembali padamu? Aku tidak akan jatuh cinta kembali, sebab aku masih mencintai kamu. Perasaanku tidak pernah berbeda sejak pertama kali kita bertemu dan saling mengakui isi hati masing-masing.

Tetapi aku tidak akan pernah berselingkuh denganmu June. Aku hanya ingin kita bisa berbicara kembali. Keinginan yang hampa saja, sebab kamu betul-betul menutup mulut. Sesuatu yang membuatku semakin merasa bersalah.

Aku mencoba menduga-duga. Barangkali kamu menjaga jarak untuk menghormati perasaan Dinda. Itu baik. Tetapi Dinda tahu bahwa aku pernah memadu kasih denganmu. Ia juga sadar bahwa suaminya membutuhkan masa adaptasi untuk bisa melupakan dan melepaskan kekasih hatinya. Dinda merelakan kalau suaminya mencoba menyelesaikan masalahnya denganmu, asal itu setelah kami menikah. Nah, atas dasar itulah aku mencoba mencari kamu dan mau membayar ‘hutang’ persoalan kita.

Tetapi kamu tidak mau.

Debi pernah menawarkan diri jadi penengah. Tapi katanya kamu menolak keras ya?

Kenapa June?

Aku kadang bingung. Sampai kapan kita akan seperti ini. Sementara, dunia kita selalu berdekatan. Sepulang kamu dari Tarakan, kamu kuliah lagi di UI. Peluang kita untuk bertemu semakin terbuka. Lalu kamu lulus dan bekerja di LPPP. Lembaga survey itu pernah bekerja sama dengan organisasi dimana aku mengabdi saat ini. Nah, jarak fisik di antara kita amat dekat. Tapi jarak hati kita masih saja jauh.

Itu makanya aku sering bertanya tentang kamu kepada Debi. Tapi sesering itu pulalah ia memarahiku. Katanya, ‘jaga perasaan Dinda’ jaga perasaan Dinda’. Lho, kenapa memangnya? Aku selama ini sudah menjaga perasaan dia kok. Dia bahkan pernah menyuruhku menyelesaikan masalah kita sampai tunas. Tahukah kamu itu June? Bahkan Dinda saja mengijinkan. Sebab, ia tak ingin masalahku denganmu menggantung terus.

Tapi baiklah, aku mencoba menerima sikapmu.

Kadang aku sangat merindukan saat-saat dimana kita bisa berbicara tanpa henti. Sebagaimana kita dulu. Dulu, kalau kita mulai mengobrol, tak pernah bisa dihentikan. Apa saja bisa menarik untuk kita perbincangkan. Sampai-sampai, kita sadar bahwa kita sudah mengobrol 5 jam. Ehhhmm... sesuatu yang tak bisa aku lakukan dengan Dinda.

Oh, maaf. Aku tak bermaksud membanding-bandingkan kalian. Juga tak bermaksud mengatakan kalau Dinda tidak lebih baik dari kamu. Bukan. Aku hanya ingin menawarkan, bisakah kita bertemu? Aku ingin menyampaikan permohonan maafku yang terdalam. Itu saja. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline