Uban di atas kepala, helai demi helai semakin membuat pesona dirinya. Kerutan di sudut mata hingga ujing bibir, menambah syahdu di antara usia renta yang mulai menopang tubuhnya. Bola mata yang mulai senja, ditambah dengan kacamata tua, menemani kala membaca ponsel yang di genggamannya.
Jika telah lama duduk, saat bangkit perlu memegang sesuatu untuk menguatkan kakinya. Oalah, ibuku sudah tua ternyata. Kupandangi wajahnya yang adem dan kurenungi setiap kenangan perjuangan dalam melahirkan, merawat, mendidik, menuntunku hingga dewasa. Tak mudah memang, tetapi sungguh tangguh semua dilewatinya.
"Bu, ayo masuk, di luar angin," ucapku.
"Sebentar, sebentar saja lagi, ya," jawabnya.
Setahun berlalu sejak ditinggal mendiang ayah, ibuku selalu menutupi kesedihannya. Berpura-pura menjadi sosok yang kuat menghadapi takdir. Berpura-pura menjadi perempuan perkasa seperti di dalam kisah fiktif ataupun nyata.
"Mana Luhut?" tanya ibuku.
"Di dalam kamar, Bu," jawabku.
Sembari masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu, ponsel masih di dalam genggamannya. Kucuri pandang melihat layarnya. Hmm, potret ayah ternyata yang dilihatnya dari tadi. Sepertinya saat mengenang ayah, ibu tidak mau aku mengetahuinya. Tiba-tiba aku bertanya padanya untuk membuka percakapan yang mungkin saja bisa memantiknya untuk bercerita.
"Bu, apakah ibu baik-baik saja?" tanyaku.
"Ya, iyalah, memang ibu tidak baik-baik saja? Masih kuat jaga cucu, kok," jawabnya.
"Terima kasih, ya Bu," kujawab sambil memeluknya.