Rita Kunrat, No. 6
Seminggu menjelang kematian Ayahanda Sukma, Mbok Minah telah berhasil mendapatkan kekuatan supranatural dari orang kepercayaannya. Ia pergi seorang diri menjelang tengah hari. Jarak yang ditempuh cukup jauh dan harus berganti kendaraan beberapa kali. Keesokan harinya, menjelang matahari tenggelam, Mbok Minah sudah tiba lagi di rumahnya.
Kali ini, apapun permintaan Mbah Suro, dukun paling canggih itu, telah dipenuhinya, demi membalas sakit hati dan kecewanya terhadap laki-laki yang seperti terus mengejek hidupnya. Hidup berdampingan sebagai tetangga, seakan membunuh Mbok Minah hidup-hidup, perlahan-lahan dan bertahun-tahun. Sedangkan, seorang perempuan cantik dan lembut, Savitri, Ibunda Sukma telah lebih dahulu meninggalkan musuh Mbok Minah. Ia pergi dengan tenang, dengan tubuh membiru. Kata orang, Savitri meninggal karena angin duduk. Kini, tinggallah Suma menjadi yatim piatu.
*****
Ojek tua itu melaju terseok-seok dalam remang Maghrib Jum’at kliwon. Ini adalah kendaraan satu-satunya yang mampu mengantarkan Mbok Minah menuju sebuah rumah di sebuah dusun yang dikenal banyak mahluk gaibnya. Sudah berapa panjang pematang sawah dilaluinya. Hanya berdua, Mbok Minah dan supir ojek, Mang Ohed. Laki-laki bercelana hitam komprang dengan lilitan sarung bau apek, diselempangkan dari bahu hingga ke pinggangnya. Bukan cuma itu, baju kaos dekil dan topi lusuh yang sudan bolong di sana sini, menambah sumpek hidung Mbok Minah yang duduk dengan tangan memeluk setengah badan Mang Ohed agar tetap imbang melewati pematang tanah kering.
Remang senja semakin menggelap. Padi yang baru tumbuh dua jengkal, seakan berubah warna menjadi hitam. Menakutkan. Burung malam mulai melintas sesekali di atas kepala kedua orang ini. Mang Ohed sedang mengantar penumpangnya ke sebuah pondok orang sakti di kampung ini. Kampung Cibarutem yang letaknya di kaki sebuah bukit dengan hutan lebat. Suara jangkrik, kodok, binatang malam serta lambaian sederet rumpun bambu, dan bau dedaunan busuk, seolah kian memacu gerak ojek agar segera sampai di rumah Mbah Suro, orang yang paling dipercayai Mbok Minah, mengurus nasib masa depannya
Breeeenggg….
Suara mesin ojek mengerang keras. Lalu mati. Pas tepat di ujung pematang. Mbok Minah turun dari boncengannya. Mang Ohed berdiri, kemudian membetulkan ikatan sarung di pingganggnya. Ia memeriksa kondisi ojek. Dicobanya lagi di starter. Tidak ada tanda bisa nyala. Mata Mang Ohed menoleh ke sekitarnya. Lalu ia menarik napas panjang. Tidak ada orang. Sepi. Terdengar suara anjing menyalak dua kali. Setelah itu kembali sepi.
“Jadi, gimana ini? Masih bisa jalan, nggak ?”
Suara Mbok Minah langsung tinggi menahan kesal. Mang Ohed diam tak bersuara. Dicobanya lagi minstarter ojek pinjaman milik temannya. Nihil. Mang Ohed menoleh ke arah Mbok Minah dan tersenyum dengan sederet gigi hitam kuning menjijikkan.
Mbok Minah membuang muka.
Kembali Mang Ohed mencoba mencari cara agar ojek bisa hidup lagi. Sia-sia. Ia berdiri berkacak pinggang. Lalu berpaling menghadap Mbok Minah. Mang Ohed menyeringai. Ia memegang kedua stang motornya, lalu membalikkan arah motornya. Menuntunnya tanpa sepotong kata pun. Lalu meninggalkan Mbok Minah yang diam terpaku dalam kebingungan.
Kali ini tawa Mang Ohed memecah keheningan langit yang tak berbintang. Kelam sudah. Mbok Minah sejenak terpana kaku. Diam dengan tatap mata tajam melepas Mang Ohed yang begitu cepat lenyap di telan malam dan meninggalkannya sendirian.
"Sial!" Serapah dari mulut Mbok Minah.
Mbok Minah tidak ambil pusing. Ia membalikkan tubuhnya menuju arah jalan yang biasa dilewatinya. Ia sudah keluar dari areal persawahan. Bergegas mendaki jalan yang dipenuhi semak. Jalan yang sudah dihapalnya. Jalan seorang pelanggan orang sakti.
Apa boleh buat, tekadnya sudah bulat ingin segera menemui Mbah Suro. Dadanya naik turun berisi gumpalan amarah. Ingin membalas dendam kesumat. Dendam yang tercipta ulah lelaki yang merubah cintanya menjadi benci. Itulah ulah bapaknya Sukma.
Bias cahaya redup dari hape Mbok Minah, berhasil mengantarkannya sampai ke halaman rumah Mbah Suro.
*****
Hmmm...
Mbok Minah mendehem pelan ketika sampai di beranda rumah mbah Suro. Sepi. Sebuah lampu cempor menerangi ruang yang tak seberapa besar itu. Ada sebuah dipan kayu di tepi beranda, nampak miring dengan sebuah ganjal di salah satu tiangnya. Mbok Minah masih berdiri sambil menatap di sekitarnya.
Suara jangkrik terdengar keras. Mbok Minah tahu bahwa malam seperti ini hanya orang khusus saja yang boleh bertemu Mbah Suro. Orang yang mempunyai perjanjian dan punya ikatan khusus dengan Mbah Suro. Dan Mbok Minah adalah salah seorang dari tamu spsesial Mbah Suro. Hari-hari lain adalah hari bagi pelanggan Mbah Suro pada level pemula.
"Eheem..."
Kali ini Mbah Suro mendehem, mengejutkan Mbok Minah yang masih kaku berdiri menghadap semak belukar di depan pekarangan rumah Mabah Suro. Mbok Minah membalikkan badannya. Membuang napas panjang tanpa suara.
Mbah Suro menatap dalam.
Kedua mata manusia sekongkol ini bertemu.
Tiada kata.
Dalam hitungan menit, seolah terjadi percakapan batin diantara mereka.
Suara burung hantu bersahut-sahutan memanasi percakapan mistik orang-orang aneh ini.
PLEK!
Keluar suara dari gesekan jempol dan jari tengah Mbah Suro. Ia mempersilahkan Mbok Minah, tamu istimewanya masuk ke dalam ruang kerja Mbah Suro. Mbah Suro membalikkan badannya lalu membiarkan Mbok Minah mengikutinya.
Mbok Minah mengikuti dari belakang. Sesekali rambut gimbal Mbah Suro bergerak-gerak karena tiupan dari angin jendela yang dibiarkan sedikit menganga. Ruang kerja Mbah Suro jauh di sebuah sudut yang entah mengapa dibuat melalui jalan berliku dalam rumahnya.
Tangan kanan Mbah Suro memegang sebuah lampu teplok minyak tanah. Nampak wajah legam Mbah Suro ketika sinar lampu itu dekat ke wajahnya. Alisnya hitam tebal dengan ujung yang lancip panjang. Matanya bercelak hitam. Dua kuku jempol tangan Mbah Suro dibiar panjang hingga melengkung. Tak ada lagi yang menakutkan dari profil Mabh Suro buat Mbok Minah, laki-laki kekar berbadan gempal ini. Yang ia tahu hanyalah bahwa Mbah Suro adalah orang sakti yang selama ini selalu berhasil mengikuti kemauannya. Apapun itu.
"Silahkan duduk." Pinta Mbah Suro dengan suara besar sedikit serak.
Mbah Suro menunjuk ke arah sebuah permadani lusuh.
Mbok Minah menoleh ke tempat yang ditunjuk lalu duduk bersimpuh.
Mbah Suro duduk bersila dihadapan seperangkat peralatan kerja mistiknya. Persis berhadap-hadapan dengan Mbok Minah. Tiada suara.
Suasana hening.
Mbok Minah mencuri pandang dari sudut matanya, mengamati sekeliling.
Ada sedikit perubahan dekorasi interior ruang praktek Mbah Suro. Seekor kepala babi hutan menempel di dinding belakang tempat duduk Mbah Suro. Dari mata babi hutan itu, keluar tetesan darah secara perlahan. Mata Mbok Minah terus mengawasi potongan kepala babi hutan tersebut. Lama-lama suasana batin Mbok Minah dipenuhi oleh rasa bahagia. Rileks. Pancaran bola mata babi hutan ini seperti menghipnotisnya. Itu tidak tampak seperti kepala babi hutan. Perlahan-lahan berubah seperti wajah Danang, Ayahanda Sukma. Merayunya....hingga sedikit membuatnya terlena.
Mbah Suro memulai ritualnya. Melepas beberapa serbuk halus ke dalam sebuah pedupaan. Aroma kemenyan dan kayu-kayuan menyeruak ke seantro ruang berdinding bambu namun di belakangnya berlapis tembok kokoh kedap suara.
Mbok Minah menahan napas. Ia mulai memperhatikan kerja Mbah Suro walau mata genit kepala babi hutan terus menggodanya. Kali ini ia berpikir keras, apa lagi yang diminta Mbah Suro sebagai syarat. Selama ini, uang, perhiasan, sajen beberapa ekor binatang berkulit hitam sudah dipenuhinya. Dan hasilnya semua memuaskan Mbok Minah.
Namun kasus dendam dan kebencian Mbok Minah terhadap laki-laki yang sudah berkhianat kepadanya belasan tahun lalu, belum juga mampu hilang dari hatinya yang paling dalam. Mbok Minah ingin membalas sakit hatinya kepada Danang dan ingin menyingkirkan istrinya, Savitri, tanpa jejak.
"Perempuan itu harus lenyap secara baik-baik. Ialah perenggut kebahagianku," Mbok Minah berbicara dengan hatinya.
Demi tekadnya, apapun bayaran dan permintaan Mbah Suro, akan dipenuhinya.
Mantra sudah selesai dirapalkan. Ruang sudah penuh dengan asap dan wewangain yang mendirikan bulu roma.
"Sebutkan tiga kata saja apa yang Kau mau?"
Cuma itu pinta Mbah Suro sambil menatap mata Mbok Minah sedikit liar.
Mbah Suro menyandarkan punggungnya ke dinding, tidak jauh dari kepala babi hutan.
Tiba-tiba, beberapa garis putih seperti menembus ke kepala dan sekujur tubuh Mbah Suro. Garis seperti sinar laser itu merubah tampilan Mbah Suro. Mbah Suro bagai Danang muda yang rupawan.
Mbok Minah tersenyum bahagia. Tiba-tiba ia merasakan kerinduan yang dalam. Ingin memeluk Danang yang ada di hadapannya.
Mbah Suro mengejutkannya.
"Minah!"
"Kau sebutkan tiga kata yang Kau mau."
"Sekaraaaangg....," suara Mbah Suro menggelegar.
Mbok Minah tersenyum bahagia. Ia melihat Danang memanggilnya.
"Danang...Danang...Danang."
Mbok Minah menyebut nama Danang tiga kali.
Mbah Suro tersenyum lalu tertawa keras.
Jantung Mbok Minah berdegup keras. Ia diam saja. Membiarkan Mbah Suro tertawa sesukanya.
Kemudian telunjuk Mbah Suro memberi aba-aba agar Mbok Minah berbaring di sebuah pembaringan dengan alas seprei berwarna merah. Di atasnya bertaburan tujuh macam bunga yang harum baunya. Anehnya, wewangian bunga-bunga ini menghilangkan bau asap dupa yang kuat kesan mistiknya. Seketika, ruang itu berubah bagai kamar pasangan pengantin baru. Begitu indah dan wangi. Hilang rasa takut Mbok Minah.
Entah kekuatan dari mana, Mbok Minah melepaskan pakaiannya helai demi helai. Lalu Mbah Suro menghampirinya. Minah melihat wajah Danang yang tampan dan lembut malam itu. Mbok Minah mengerang....melenguh. Dan 'Danang' semakin menggila. Pelan-pelan bulu-bulu hitam keluar dari sekujur tubuh Mbah Suro. Taringnya memanjang. Dua buah tanduk kecil keluar dari atas alisnya. Mbok Minah semakin mabuk kasmaran bergumul dengan kekasih hatinya.
Malam itu, Mbok Minah telah menyerahkan jiwa raganya kepada Mbah Suro. Harga diri dan kesucian yang dijaganya baik-baik selama ini, telah menjadi barang gadaian demi membayar hasrat dendam kesumatnya. Harga paling mahal yang diserahkannya.
***
Secangkir minuman hangat membasahi kerongkongan Mbok Minah. Kini ia duduk di ruang lain, berhadap-hadapan dengan Mbah Suro yang duduk di kursi goyang. Wajah Mbah Suro menampakkan keasliannya. Dan Mbok Minah tidak ingat lagi barang sedikitpun dengan wajah Danang.
"Ini, Kau bawa pulang. Lakukan semua petunjuk yang sudah aku katakan tadi," kata Mbah Suro seraya menjulurkan sebuah kantong beludru hitam.
Mbok Minah menerima tanpa kata.
Badannya terasa letih dan lesu.
Kokok ayam mulai terdengar. Sepertinya tak lama lagi, mentari akan menerangi jalannya pulang.
Mbok Minah merapikan letak selendang batik yang dijadikan syal. Melilitkannyake leher.
Lalu menatap Mbah Suro.
Mengangguk pelan.
Mbah Suro masuk kembali ke dalam ruang kerjanya. Meneruskan kembali kerja yang tersisa. Dibiarkannya Mbok Minah meninggalkan pintu rumah yang nampak seperti gubuk reot dari luar. Padahal di dalam bagai sebuah kastil mungil yang juga menjadi sarang kelelawar.
*****
Beberapa langkah lepas meninggalkan halaman rumah Mbah Suro, langkah Mbok Minah terhenti. Ia terkejut. Darahnya mengalir deras. Jantungnya berdetak kencang. Samar-samar tubuh yang semakin dekat dan akan berpapasan dengannya, semakin jelas. Ya, benar. Itu Kepala Desa, Pak Sadikin!
"Mau apa dia ke sini?" tanya Mbok Minah dalam hatinya.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community
Sumber: www.photosjoy.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H