Lihat ke Halaman Asli

Rita Audriyanti

Ibu rumah tangga

Pensiun: Musibah Atau Berkah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya pensiun itu apa? Hanya orang yang bekerja sajakah boleh pensiun? Secara praktis di lapangan kita memaknai arti pensiun berhenti dari suatu kerja rutin dan tetap. Ada orang yang melakukan pekerjaan rutin dan tetapnya tanpa henti sepanjang hidupnya. Ada pula yang berhenti di tengah jalan lalu membanting stir mengerjakan hal baru.

Bagaimana dengan saya yang sedang asyik-asyiknya bekerja lalu harus ikut mendampingi suami dinas, pindah dari satu negara ke negara lain. Otomatis saya pensiun dari pekerjaan profesi sebelumnya. Apa masih perlu ikut-ikutan mempersiapkan masa pensiun?

Apapun definisi tentang pensiun, yang pasti setiap orang yang hidup pasti akan beranjak dan sampai di penghujung karirnya. Apapun karirnya itu. Saatnya menjadi ‘manusia baru’. Walaupun masa pensiun merupakan kelanjutan hidup masa sebelumnya, tetap saja memerlukan persiapan. Sekarang pensiun di tangan kita. Kitalah yang menentukannya, mau galau atau bahagia. Menjadi musibah atau berkah.

PENSIUNAN DAN DUIT

Dari macam-macam obrolan dengan sesama teman yang siap-siap memasuki masa purna bhakti, tiga kata yang paling sering dihubungkan dengan pensiun yaitu pertama DUIT, kedua DUIT dan ketiga tetap DUIT ! Uang menjadi The most trending topic yang menyangkut di pikiran para calon pensiunan, sebelum masalah kesehatan, pergaulan, anak cucu, aktifitas, hobi, dan bahkan kematian.

Orang sering beranggapan bahwa dengan uang segala-galanya bisa beres. Itu sebabnya orang bersedia bekerja siang malam, membanting tulang, kerja keras, pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya demi uang. Dengan uang di tangan segalanya bisa dibeli. Itulah fungsi uang sebagai alat tukar sekaligus sebagai gaya hidup. Iya, dong, orang kaya (baca: banyak uang) beda gaya hidupnya dengan orang miskin.

Diskusi yang dibangun dengan pasangan di rumah pasti dimulai dengan pertanyaan: Bagaimana kehidupan kita setelah nanti pensiun hanya dengan uang pensiun? Uang menjadi tolok ukur kesuksesan dan kebahagian di hari pensiun. Benarkan demikian?

JEMBATAN MENUJU PENSIUN: MENATA HATI, PIKIRAN DAN HIDUP REALISTIS

Menjadi pensiunan bahagia, bukan pensiunan galau adalah idaman.  Tidak mustahil siapapun bisa meraihnya. Atau sebaliknya, menjadi pensiunan galau dan terbenam dalam kesunyian masa tua yang tidak bermakna, juga pilihan. Mumpung bel pensiun belum  berbunyi, mari kita siapkan diri menghadapinya.

Ini hasil obrolan saya dengan ‘orang sebelah’ yang sering ‘merengek’ ingin segera pensiun. Padahal kalau melihat waktunya masih tujuh tahun lagi. Saya yang belum siap ‘alih kawasan’. Bukan apa-apa, masih ada dua anak lagi yang perlu perhatian hingga mereka tuntas sekolahnya, paling tidak. Kemudian itu tadi, kata pensiun serasa memasuki ‘kawasan wajib sepuh’. Bau minyak gosok. Dipanggil berkali-kali baru menyahut. Antri di Bank mengambil uang pensiun. Salah pengertian dengan anak cucu. Pensiunan model begini yang saya ogah. Tua adalah kepastian tetapi bukan berarti jadi lepek gitu. Pensiunan yang OK itu adalah yang melanjutkan semua kebaikan yang sudah berlangsung selama ini dan berusaha sekuat mungkin mereda kekurangan yang sulit ditolak, seperti kelambanan,  kelupaan, dan ketakutan, misalnya.

Langkah-langkah kami menyiapkan pensiun yaitu:

Pertama, membangun dialog dengan diri sendiri si calon pensiunan.  Harus menyediakan waktu untuk merenung. Bertanya akan seperti bagaimana pensiun nanti. Apa lagi selama ini asyik bergelut dengan segala suka duka berkeringat bahkan berdarah-darah, pasti apa-apa yang tinggal di belakang menjadi guru yang paling berharga.

Kedua, ini yang tak kalah pentingnya. Ajak dan libatkanlah orang-orang seperti saya ini, pasangan (isteri/suami) yang setia mendampngi dalam suka dan duka selama ini. Tugasnya untuk cek dan ricek dan memberi masukan. Ada sisi-sisi lain yang tak dipahami atau hilap dari perhatian suami/isteri yang akan pensiun.

Ketiga, akhir diskusi pasangan ini disampaikan kepada anak-anak dan menantu. Siapa tahu mereka juga punya ide brilian yang lebih mempermudah para pasangan pensiunan menjalani hari tuanya.

Keempat, baru buat skala prioritas bentuk dan jenis aktifitas yang sesuai. Boleh jadi meneruskan hal-hal yang selama ini ditekuni atau merintis hal baru sesuai dengan minat dan kesanggupan fisik dan mental.

Kelima, umur semakin tua, biasanya semakin kurang temannya. Alangkah bagusnya memanfaatkan teknologi canggih tepat guna, seperti Facebook, BBM, internet, Skype, dll untuk membangun relasi, menyalurkan hobi menulis, memperpanjang silaturahim, menambah teman dan mengikuti perkembangan zaman.

Keenam, jangan sampai terlambat memikirkan soal mati. Semua yang hidup pasti mati. Matilah dengan cara mulia, khusnul khotimah. Rambut yang sudah memutih, kulit yang berkerut, mata yang kurang terang, mengeluh sakit ini itu, adalah sebagian dari peringatan Tuhan akan semakin dekatnya kita ke liang kubur.

Mudah-mudahan dengan begini pensiun menjadi tetap manis, bahagia, tentram dan yakin Allah pasti menolong menutupi semua kekurangan sehingga masa pensiun adalah berkah kehidupan, bukan musibah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline