Lihat ke Halaman Asli

Rita Istik Maliyah

Mahasiswa Psikologi UIN Walisongo Semarang

Pentingnya Building Rapport antara Psikolog dan Klien Berdasarkan Aturan Kode Etik Psikologi Indonesia

Diperbarui: 9 November 2023   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seorang Psikolog memiliki tanggungjawab untuk senantiasa berusaha menjamin kesejahteraan masyarakat dengan memberikan pelayanan professional pada pengguna layanan psikologi. Upaya tersebut dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia sebagai seperangkat norma/nilai yang wajib ditaati dan dijalankan dengan baik oleh Psikolog di Indonesia. 

Kode Etik Psikologi Indonesia adalah suatu aturan tertulis yang dijadikan pedoman sikap, perilaku, dan pegangan teguh Psikolog/Ilmuwan Psikologi untuk melaksanakan aktivitas profesi yang selaras dengan kompetensi/kewenangan masing-masing (HIMPSI, 2010). Sehingga, dalam melakukan setiap aktivitas profesinya, Psikolog harus memperhatikan setiap aturan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia, termasuk dalam membangun Building Rapport bersama Klien.

Building Rapport adalah sebuah bentuk upaya membangun hubungan baik antara Psikolog dengan Klien agar tercipta keakraban dan keharmonisan yang nantinya akan berdampak pada lancarnya komunikasi antara kedua belah pihak, sehingga akan memudahkan proses penyampaian informasi. 

Building Rapport dapat membantu Klien merasa lebih diterima, mudah terbuka, percaya kepada Psikolog, mengurangi ketegangan/kekhawatiran, dan sebagainya (Widiatmoko, 2019). Building Rapport pada Kode Etik Psikologi Indonesia dijelaskan pada BAB IV Hubungan Antar Manusia yang didalamnya tercantum pasal 13- 21.

Pasal 13 membahas mengenai “Sikap Proffesional”. Psikolog harus memiliki etika dan integritas dalam menjalankan wewenangnya dengan taat hukum, jujur, dan adil dalam interaksi professional dengan penuh tanggung jawab. Interaksi dengan rekan sejawat, klien, maupun rekan profesi lain harus dilakukan secara professional dengan memberikan layanan berkualitas dan menghindari perilaku yang merugikan.

Pasal 14 membahas mengenai “Pelecehan”. Psikolog tentunya tidak diperkenankan terlibat dalam pelecehan seksual, baik perilaku verbal maupun non-verbal. Psikolog dapat dianggap melakukan pelanggaran pasal 14 jika telah melakukan suatu tindakan yang tidak dikehendaki oleh Klien, memunculkan perasaan tidak nyaman/takut/trauma, melecehkan, meremehkan, menunjukkan kekerasan/penghinaan, dan tindakan merugikan lainnya.

Pasal 15 membahas mengenai “Penghindaran Dampak Buruk”. Psikolog harus senantiasa melakukan tindakan dengan pertimbangan yang matang guna menghindari dan mengantisipasi adanya dampak buruk yang dapat dialami pengguna layanan psikologi/pihak terkait. Psikolog harus dapat memastikan bahwa Klien telah mendapatkan informasi mengenai berbagai kemungkinan tersebut.

Pasal 16 membahas mengenai “Hubungan Majemuk”. Hubungan Majemuk merupakan kondisi dimana Psikolog dalam menjalankan peran profesinya secara bersamaan juga menjalankan peranan lain. Contohnya adalah ketika terdapat kasus Psikolog memiliki Klien yang ternyata merupakan teman dekatnya. Artinya, dalam kasus tersebut Psikolog memiliki hubungan majemuk dengan Klien karena berperan sebagai “Psikolog” dan “Teman Dekat”. 

Hubungan tersebut sebaiknya dihindari karena memungkinkan dapat bersifat subyektif dan menurunkan efektifitas Psikolog dalam memberikan layanan. Namun, jika suatu kondisi mengharuskan Psikolog untuk melakukan peran ganda, maka harus diperjelas sejak awal pelaksanaan bersama Klien mengenai peran dan tingkat kerahasiaan yang dijamin.

Pasal 17 membahas mengenai “Konflik Kepentingan”. Psikolog diharuskan mampu menjalankan perannya sebagai Psikolog dengan tetap memberikan batasan keterlibatan konflik lain supaya tidak mengganggu aktifitas profesinya. Artinya, Psikolog diharapkan tidak melibatkan masalah pribadi dalam menjalankan aktivitas profesinya supaya tidak menurunkan objektivitas/efektivitasnya sebagai Psikolog.

Pasal 18 membahas mengenai “Eksploitasi”. Psikolog tidak dipekenankan melakukan tindakan eksploitasi seperti mempergunakan profesi demi kepentingan pribadi dengan merendahkan/memanfaatkan pihak lain karena merugikan dan dapat memengaruhi pandangan masyarakat kepada Psikolog.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline