Lihat ke Halaman Asli

[Novel] Di Penghujung Senja #2

Diperbarui: 9 November 2015   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Padang, 05 April 2007…

Salar de Uyuni, kata-kata milik Attar. Sebuah tempat menakjubkan berupa dataran garam terluas di dunia yang diperkirakan mengandung 10 ton garam di dalamnya. Salar de Uyuni adalah sisa-sisa dari danau jaman pra-sejarah yaitu Danau Michin yang 40.000 tahun yang lalu dikategorikan sebagai danau terbesar. Salar de Uyuni juga disebut cermin terbesar di dunia, karena saat kita berdiri di atas datarannya ketika musim dingin, langit akan terpantul di sana dan  sekan begitu dekat hingga kita bisa menjangkaunya.

Ibu Teresia memberi Attar nilai A, untuk Salar de Uyuni-nya. Sedangkan aku?

Sebelum giliran tiba, aku sudah harus menemukan satu kata baru yang berbeda. Teringat pada buku sebuah buku alkimia yang tidak sengaja aku lihat diperpustakaan.

Giliranku datang, aku menuliskan kata-kata itu di papan tulis dan semua teman mengerutkan dahinya. The Philosopher’s Stone atau Batu Bertuah. adalah pencarian panjang dalam dunia alkemi, atau ilmu kimia tinggi di mana para ilmuwan barat berabad-abad yang lalu membuat penelitian tentang bagaimana cara mengubah logam biasa menjadi emas. Konon katanya batu bertuah adalah zat legendaris, pelarut atau katalisator yang sempurna, yang bisa digunakan untuk bisa menjadi awet muda.

Untuk Philosopher’s Stone, Ibu Teresia juga memberi aku nilan A. Satu sama.

***

“Makan siang di warung nasi sebelah ya?" ajak Attar dan aku langsung mengangguk dengan senang hati. Aku mengaguminya.

Bukan karena waktu itu di kelas hanya dia satu-satunya teman yang sama-sama Muslim dan tidak banyak anak-anak  pribumi mendaftar di kampus ini. Tapi, karena dia orang yang bersahabat dan mau berteman dengan gadis sepertiku –ya seperti aku yang pendiam dan berpikir, anak lelaki yang tahu sopan santun sudah jarang ditemui.

Aku memang memutuskan mengikuti kuliah di sebuah akademi bahasa asing yang dikelola oleh yayasan Nasrani. Walaupun bukan satu-satunya universitas yang memiliki jurusan Sastra di Padang. Aku memilihnya karena tidak lulus seleksi masuk universitas negeri. Di sini, di kampus ini, sebagian besar mahasiswanya adalah keturunan Tionghwa dan hampir dari mereka semua berbahasa dengan bahasa yang tidak dimengerti orang pribumi.

Tapi, sebenarnya ini bukan masalah tentang pribumi dan Tionghwa. Ini hanyalah tentang perasaanku. Karena aku tidak suka berada di keramaian dan kampus ini mahasiswanya tidak sebanyak di kampus-kampus lain. Suasananya lebih tenang dan kelas pun terasa agak santai. Lagipula, aku tidak suka berpetualang, kurang pandai bergaul, monoton, berbeda dengan Attar –sahabatku sejak masuk kuliah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline