Badan Pusat Statistik melakukan survei pada tahun 2024 ini dan melaporkan angka pernikahan di Indonesia menurun sekitar dua juta dalam lima tahun terakhir, sejak 2019 lalu. Banyak kemungkinan mengapa angka pernikahan di Indonesia semakin merosot.
Solopos pada tanggal 7 Juni 2024 melansir angka pernikahan di Wonogiri terus menurun dari tahun ke tahun. Ada tiga narasumber berusia 30 tahun ke atas menjelaskan alasan mereka tidak begitu terburu-buru untuk menikah di tengah usia mereka yang sudah sangat dewasa. Disimpulkan alasan ketiga narasumber hampir sama, yang menjadi sebab utama adalah masalah finansial, ditambah melihat realita kehidupan orang-orang terdekat setelah menikah yang membuat salah satu narasumber berpikir untuk tidak menikah dalam waktu dekat ini.
Contoh adanya generasi sandwich, pewarisan kemiskinan orang tua kepada anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta problematika hubungan dengan orang tua dan mertua setelah menikah menjadikan hal-hal tersebut sebagai bahan pertimbangan anak-anak muda sekarang.
Pernikahan, sekarang bukan lagi sesuatu yang urgent bagi anak muda. Mereka cenderung fokus pada pendidikan atau meniti karir terlebih dahulu sebelum benar-benar memutuskan untuk memulai kehidupan pernikahan. Pola pikir anak muda masa kini sudah banyak berubah seiring berkembangnya berbagai aspek dalam kehidupan.
Perubahan pola pikir ini menjadikan anak-anak muda lebih aware terhadap masa depan dirinya sendiri, bukan hanya itu menurunnya angka pernikahan juga secara tidak langsung menekan naiknya angka kelahiran di Indonesia yang seperti diketahui bahwa Indonesia masuk dalam jajaran negara dengan angka kelahiran tertinggi. Memiliki banyak atau sedikit anak memang hak setiap pasangan suami-istri, tetapi bila hal ini tidak dibatasi dampaknya akan sangat serius di masa depan, seperti harapan hidup layak akan semakin sulit di dapat, dan dari minimnya harapan untuk hidup layak ini bisa meningkatkan kriminalitas di masyarakat.
Namun, pernikahan di usia tua juga bukan pernikahan yang ideal, mengapa? Jika pernikahan adalah tujuan untuk memiliki keturunan, memang menikah di usia sedikit lebih muda dianjurkan. Ini berkaitan dari jarak usia ibu dan anak, perempuan pun semakin tua semakin rentan untuk mengandung dan malahirkan karena keadaan fisik yang semakin melemah. Bila menganggap memiliki keturunan adalah bonus, menikah di usia berapa pun seharusnya tidak jadi masalah.
Akibat dari Pernikahan yang Kurang Kesiapan
Awal bulan Mei 2024 lalu masyarakat Indonesia digemparkan dengan berita yang datang dari Ciamis, Jawa Barat. Ada seorang suami yang tega memutilasi istrinya sendiri dan diduga karena faktor ekonomi. Pelaku berinisial T dan korban berinisal Y. T dan Y memiliki dua orang anak, anak pertama perempuan sudah menikah dan tinggal bersama suaminya, anak kedua laki-laki masih bersekolah di bangku SMK. Kejadian mutilasi ini terjadi akibat T terlilit utang pinjaman untuk membuka usaha peternakannya yang pada akhirnya tidak berjalan dengan baik.
Di lain tempat ada seorang polwan di Mojokerto yang membakar suaminya sendiri yang sesama polisi karena judi online. Diketahui bahwa pelaku dan korban memiliki tiga orang anak, kasus ini terjadi akibat ulah korban yang senang bermain judi online sampai menghabiskan sebagian besar uang gaji ke-13 yang didapatkan sementara mereka membutuhkan biaya tidak sedikit karena tengah memiliki tiga anak yang masih sangat kecil. Setelah kejadian pembakaran, pelaku masih sempat membawa korban ke rumah sakit dan meminta maaf kepada korban, tidak lama korban dinyatakan meninggal akibat luka bakar 90%.
Kasus kriminal yang dilakukan T di Ciamis terhadap istrinya dan seorang polwan di Mojokerto kepada suaminya merupakan contoh ekstrim dari realita kehidupan pernikahan. Tindak kriminal lain yang diakibatkan dari tekanan finansial dalam rumah tangga atau keluarga adalah banyaknya orang yang mencuri hanya demi sesuap nasi atau demi menafkahi anak dan istri.
Jangan lupakan juga Sopyah, seorang anak gadis berusia 20-an tahun asal Indramayu yang nekat mengubah penampilannya menjadi seperti laki-laki agar bisa mendapatkan pekerjaan sebagai kuli bangunan untuk menghidupi keluarganya. Untungnya ada yang memviralkan kisah Sopyah sehingga ia kini tidak bekerja sebagai kuli bangunan lagi, kini si anak gadis membuka warung di depan sebuah sekolah. Sopyah adalah contoh anak yang diwarisi kemiskinan oleh orang tuanya, juga termasuk generasi sandwich di mana dia harus membantu ayahnya dengan bekerja banting tulang bukan hanya untuk dirinya sendiri dan juga untuk adiknya.