Lihat ke Halaman Asli

Tentang Almamater Tercinta dan @ITBtanpaJIL Yang Memalukan

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13524704171152586718

Sudah baca twit di atas?

Yah, saya adalah seorang muslim. Dan memang, meski harus diakui bahwa kemampuan ilmu agama saya minor sekali bila dibandingkan ilmu agama kebanyakan muslim yang lain, setidaknya saya masih tahu bagaimana caranya menghormati kepercayaan orang lain. Termasuk menghormati kepercayaan mereka yang memilih untuk tidak percaya bahwa Tuhan itu ada.

Memilih untuk tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, adalah sebuah kepercayaan. Dan sama seperti kepercayaan-kepercayaan yang lain, “tidak percaya Tuhan” adalah sebuah kepercayaan yang secara moral juga harus kita hormati (sekalipun negara ini tidak mengakuinya, dan sebagian dari kita menganggapnya sebagai kepercayaan yang salah) sama persis seperti kita menghormati mereka yang mempercayai Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, ataupun Konghuchu sebagai agama yang mereka peluk.

Betul, sebagai seorang muslim, dakwah adalah sebuah hal wajib untuk dilakukan. Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, dakwah tidak perlu dilakukan dengan cara merendahkan kepercayaan orang lain. Dan itu yang seringkali tidak dipahami oleh segelintir pihak, salah satunya adalah admin @ITBtanpaJIL. Alih-alih membuat mereka bersimpati dan akhirnya memutuskan untuk mempelajari Islam secara lebih dalam, menghina mereka justru akan membuat mereka semakin menjauh dari jangkauan.

Berkomentar tentang @ITBtanpaJIL sendiri, sejak awal saya sendiri bingung sebenarnya untuk apa akun ini dibuat. Toh selama empat tahun (ehm, plus sebelas bulan) saya berstatus sebagai mahasiswa ITB, saya tidak pernah sekalipun menemukan ada aktivitas maupun antek JIL yang beredar di lingkungan ITB. Bikin bingung kan? JIL-nya saja tidak pernah nongol di ITB, trus apa gunanya @ITBtanpaJIL?

Buat saya, @ITBtanpaJIL bagai sebuah gerakan sia-sia untuk menentang sesuatu hal yang ada saja tidak. Ini seperti kita capek-capek beli obat panu, padahal punya panu aja nggak. Absurd, kan?

Kalaupun yang mereka tentang adalah pemahan liberal dan pluralisme (yang mereka terjemahkan sebagai paham penyamarataan agama), kebingungan saya toh tetap saja tidak terjawab. Alasannya mudah saja: selama jadi mahasiswa ITB, saya tidak pernah merasa kesulitan untuk menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim. Bahkan, menjadi muslim di lingkungan ITB adalah sebuah perkara yang luar biasa gampang. Lihat saja, tiga buah masjid berdiri megah dalam radius kurang dari 300 meter dari kampus. Puluhan musholla bertebaran di area dalam kampus. Bahkan sebagian area di ruangan sekretariat himpunan saya, juga ikut diikhlaskan untuk dijadikan tempat sholat permanen demi memudahkan anggota himpunan yang beragama islam dalam menjalankan ibadahnya. Ingin mendalami Islam secara lebih dalam? Saya yakin rekan-rekan dari Gamais pasti akan dengan ikhlas membantu kapan saja.

Itu semua belum lagi ditambah dengan begitu fleksibelnya jadwal perkuliahan yang memberi keleluasaan kita untuk menjalankan ibadah sholat. Kalaupun ada jadwal mata kuliah yang terpaksa bersinggungan dengan waktu shalat, sepanjang apa yang saya tahu, tidak pernah sekalipun muncul kasus dimana ada dosen ITB yang melarang mahasiswa keluar kelas untuk menjalankan ibadah shalat. Soal penyebaran paham pluralisme yang mereka sebut dengan “penyeragaman agama”, memangnya pernah ada acara macam begini digelar di lingkungan pendidikan ITB? Katakanlah macam progam ibadah bersama antar agama di Masjid Salman, atau proyek paduan suara gereja feat. kelompok nasyid demi memperingati kebenaran semua agama misalnya?

Tidak pernah ada!

Sudahlah, seniat apapun mengorek alibi, faktanya kampus ITB akan tetap toleran bagi seluruh mahasiswa serta apapun kepercayaan yang mereka anut. Jika anda merasa golongan anda lebih baik dari golongan yang lain, maka buktikan dengan tindakan yang nyata, bukan dengan merendahkan golongan lain. Merendahkan golongan lain demi membuat diri sendiri terlihat lebih baik hanyalah praktek kuno yang cuma dianut oleh manusia-manusia berkasta rendah macam Fauzi Bowo atau Suryadharma Ali. Kalaupun tetap mau berdakwah, toh masih banyak ulama besar nan santun di negeri ini yang bisa dicontek cara berdakwah dan komunikasinya macam Gus Mus, Cak Nun, Prof. Ali Mustofa Ya’kub, dan lain sebagainya.

Percayalah. Gerakan-gerakan macam seperti gerakan anti-JIL atau JIL-nya sendiri sekalipun ujung-ujungnya pasti akan diam imbisil kalo sudah disemprot duit. Mari ambil jalan tengah sajalah, jadilah produktif dan pintar hingga tidak mudah terprovokasi mulut orang lain.

Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak jalan untuk berdakwah dengan cara yang lebih santun dan ‘berkelas’. Tetap nekat merasa benar sendiri dan hobi merendahkan golongan lain dengan seenaknya membawa-bawa nama agung almamater ITB?

@ITBtanpaJIL, kalian memalukan.

13524705611928192261

*Twit di atas tentu saja tidak akan kamu temukan di TL @ITBtanpaJIL, karena memang sudah dihapus oleh sang admin. Jalan pintas bagi pengecut saat tahu bahwa dirinya salah tanpa perlu repot harus minta maaf? Entahlah

**Tulisan ini juga bisa dibaca di SINI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline