Lihat ke Halaman Asli

Muhammadiyah adalah NU yang Lain?

Diperbarui: 11 Juli 2017   03:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

koleksi pribadi

Karena ramai di media sosial (juga di WA) maka saya menonton film pendek "Kau adalah Aku Yang Lain" Tidak ada yang cukup istimewa dalam arti skenario yang di filmkan tersebut. Cerita di dalamnya adalah hal yang sangat biasa di dunia nyata dalam kehidupan seharti-hari. Diceritakan dalam film pendek tersebut seorang suami istri yang kebetulan suaminya seorang polisi, yang bergegas masuk ke puskesmas meminta didahulukan dalam nomer antrian. Petugas puskesmas tidak memperbolehkan karena menurutnya itu sudah aturan.

Kemudian disambung cerita yang kedua tentang seorang yang dibawa dengan ambulan yang karena jembatan yang akan dilewati rusak maka jalan dialihkan. Kemudian ambulan lewat jalan yang ternyata sedang ada pengajian. Terjadi percakapan boleh tidaknya melewati  jalan yang di tutup tersebut, tetapi  akhirnya ambulan bisa melewati. Film diakhiri dengan cerita pertama yang memperoleh antrian dari orang lain. Selesai

Tak ada yang istimewa , hal-hal tentang meminta untuk memotong antrian adalah hal yang wajar dikehidupan kita (apapun alasannya itu ) adalah hal yang biasa dikehidupan nyata. Seseorang yang mempunyai  pekerjaan tertentu meminta fasilitas pelayanan publik untuk diprioritaskan, itu sudah biasa. Kita memang dididik dari awal mula untuk tidak antri, sekedar contoh rebutan gunungan, rebutan sedekahan.  Itu memang benar dan tidak ada yang pantas selain itu. Kita malah asik dengan ketidak antrian, antri itu tidak ada seninya sama sekali. Monoton dan membosankan.

Hal-hal peringatan keagamaan akan senantiasa diwarnai dengan ini rebutan. Yang beruntunglah atau dalam kata lain yang dapat berkah lah yang bisa dapat barang yang diperebutkan (semisal rebutan gunungan, rebutan kupat, rebutan bunga, rebutan air cucian kereta, rebutan air cucian gentong dlsbnya) . Hasil yang mberkahi itu semisal kita dapat kacang panjang itu akan kita jadikan jimat dan semacam yang disucikan! Rebutan gunungan dengan antri? Hal-hal yang berkah akan luntur menjadi barang biasa dan pasaran.

Disuruh antri itulah seharusnya yang membuat kita tersinggung dan marah! Antri itu anak kemarin sore saja sudah menyuruh-nyuruh budaya yang sudah ratusan tahun akrab dan menjadi sunnah ini untuk mengalah. Itu tidak benar bung! Local wisdom kita itu lebih tinggi melebihi undang-undang.

Jalan ditutup ? memang ,tinggal di dusun seperti saya, sering mengalami kaya ginian, jalur jalan dialihkan karena pengajian dan atau ada acara kawinan, ada acara sunatan, ada acara peringatan satu hari sampai tujuh hari orang meninggal. Biasa saja. Dan itu hanya dipasang rambu dilarang masuk. Tidak perlu ada debat dan eyel-eyelan. Kita muter saja toh masih banyak jalan lain. Lalu yang menjadikan kemarahan itu dimana? Memang orang islam (disekitar kita) memang kayak gini perilakunya, kita harus impor orang-orang yang bisa membuka jalan ketika jalan ditutup itu darimana mana? La wong keumuman itu enak dan tidak artifisial je, inklusif itu enak dan perlu. Sedang toleransi itu eklusif bung khusus hanya orang-orang yang memandang dirinya tinggi saja, dan untuk orang-orang yang baru belajar  tentang sila-sila pancasila. Kita seharusnya marah pada orang-orang yang bicara toleransi. Hidup kita sudah baik-baik saja , adem tentrem dalam bermuka dua dalam bertetangga dalam masyarakat dan dalam negara.

Yang menjadi pertanyaan mengapa muhammadiyah marah menanggapi film tersebut?  Selama ini setahu saya (ya maafkan kalau keliru ) yang mengikuti pengajian model begini: pengajian di malam hari  dengan sarungan, pecisan, duduk di tikar, banyak yang gondrong, menutup jalan dan mengalihkan jalur biasanya dilakukan jamaah Nahdatul Ulama. Tapi mengapa muhammadiyah yang protes bukan warga NU? Atau jangan-jangan Muhammadiyah adalah Nu yang lain?

Mungkin seharusnya kita bisa buat list orang-orang yang seharusnya marah terhadap film "Kau adalah Aku Yang Lain" semisal pertama orang yang gondrong harus marah karena dalam film ini distereotipkan sebagai orang yang kalah dan dikalahkan. Kedua petugas puskesmas yang digambarkan sopan dan tahu peraturan. Harus marah dong biasanyakan ketus-ketus dan semau udel dewe. Atau teruskan ndirilah list ini. Bisa di wa atau media sosial  lain.

Tapi yang saya harus tekankan ,skenario film ini harusnya memasukkan kemasukakalan dan kesepertihidupan. Tidak seperti yang kita bahas di atas malah menolak masuk akal dan menolak seperti hidup. Yo wes terserah lah, bila kemudian ada yang marah ya wajar-wajar saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline