Di tengah gencarnya pemberitaan media-media saat ini terhadap berbagai kasus intoleransi dan kerusuhan yang ditengarai atas dasar agama, seolah-olah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang dengan kekayaan pluralitasnya, tidak mempunyai keluhuran dalam hidup beragama antar sesama penganut agama, baik secara internal maupun secara eksternal.
Hal ini terjadi karena tidak diimbangi dengan pengeksposan secara adil dan signifikan oleh media tentang fakta-fakta dan cerita-cerita tentang kerukunan beragama di negri ini. Media hanya tertarik meliput peristiwa-peristiwa yang menghebohkan, bahkan tidak pernah absen dalam menyebarkan berita-berita yang berkutat pada kasus-kasus intoleransi seperti contohnya pembakaran Gereja, pembakaran Masjid, bentrokan 2 kubu agama, dll.
Padahal Indonesia sangat kaya akan sejarah kerukunan antar hidup beragama yang apabila dibandingkan dengan kasus-kasus intoleransi yang telah terjadi, skala kerukunan sepuluh kali lipat lebih besar. Mengapa saya bisa mengatakan demikian? Karena sejarah telah mencatat bahwa kerukunnan antar umat beragama bukan saja fenomena yang terdapat di daerah tertentu, namun merupakan fenomena umum yang dapat dijumpai di setiap jengkal wilayah Indonesia.
Bangsa ini sudah sejak lama sudah terbiasa hidup dalam masyarakat multibudaya, multietnis, dan multiagama. Dari sinilah kemudian mucul kearifan-kearifan local yang mampu menciptakan ssuasana hidup rukun dan damai di tengah massyarakat yang plural.
Fakta dan cerita hidup rukun dan damai ini menjadi sangat penting untuk diketahui oleh seluruh bangsa Indonesia, karena akan menjadi pelajaran yang sangat berharga,yang akan mendidik dan membangun kesadaran di setiap benak kita bahwa inilah bangsa Indonesia yang sesungguhnya, yang selalu hidup rukun dan damai. pada akhirnya kasus-kasus intoleransi akan menjadi semakin berkurang atau bahkan mungkin tidak akan ada lagi.
Contoh pertama adalah desa Balun di kabupaten Lamongan. Desa Balun dijuluki sebagai 'kampung tiga menara, desa pancasila'. Dinamakan demikian karena penduduknya terdiri dari multi agama yaitu Islam, Kristen, dan Hindu, sehingga di Balun selalu dijumpai masjid, pura, dan gereja yang lokasinya berdekatan.
Sejak pertama kali masuknya Hindu dan Kristen, dan Islam sebagai agama yang lebih duluan tumbuh dan berkembang, sejarah mencatat bahwa belum pernah terjadi konflik bernuansa agama di daerah itu, padahal di daerah itu tidak ada pengelompokan tempat tinggal berdasarkan agama, mereka hidup berbaur dan menyebar secara merata. Selain itu, kerukunan juga termanifestasikan dalam bentuk lain. Seperti dalam pesta hajatan (ngaturi) masyarakat Balun apapun agamannya walaupun bukan Islam, bannyak yang memakai kerudung dan kopiah.
Dan pada setiap hari besar, seperti idul fitri, idul adha, natal, paskah, galungann, umat yang merayakan akan saling mengundang agama lain sebagai bentuk penghormatan.
Contoh kedua, yaitu sebuah bentuk kerukunan di mana posisi gereja dan masjid tidak hanya berdekatan, namun bertetangga, berbagi dinding, berbagi suka, berbagi duka, berbagi cerita. Itulah Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) mahanaim dan Masjid al Muqarrabin di wilayah Ennggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di sana sebuah salib raksasa bersebelahan dengan kubah masjid.
Kedua bangunan ini telah menngisahkan cerita, tentang dua agama yang saling menghormati dan saling melindungi, serta sama-sama menghadapi konflik dan kerusuhan dalam peristiwa tanjung Priok 1984 dan kerusuhan mei 1998. Menurut Christin Merry, jemaah GMIST Mahanaim, kedua peristiwa itu menjadi menjadi gambaran betapa eratnya hubungan antara GMIST Mahanaim dan Masjid al-Muqarrabin. pada saat peristiwa tanjung Priok ketika gereja GMIST menjadi sasaran pembakaran oleh massa, tidak mengalami kerusakan apapun, karena puluhan jemaah masjidal-Muqarrabin menjadikan diri mereka sebagai tameng hidup untuk melindungi gereja tersebut.
Sedangkan pada kerusuhan mei 1998 yang menyeret isu yang lebih besar, yaitu SARA, puluhan jamaah masjid al-Muqarrabin bergantian berjaga, baik siang maupunj malam hari, guna memastikan agar tidak ada satupun pihak yang dapat masuk ke gereja GMIST Mahanaim untuk menjarahnya. Sampai sekarang kerukunan itu masih terus terjaga. Saling menyediaakan tempat parkir bergantian ataupun menyediakan lapangan parkir untuk menampung jemaat yang akan beribadah karena tidak muat di tempat ibadahnya masing-masing. Dan bentuk kerukunannya yang paling unik adalah adanya self cencorsif.