Kepadamu yang sosoknya saban hari selalu kunanti, yang punggungnya acap kali kutatap seraya tubuh biasaku mengharap dekap.
Semoga saja kali ini kau sudah benar-benar mengerti, mengapa akhirnya sumpahku bersimpuh pada binar matamu yang teduh, mengapa pulangku akhirnya tak lagi tersesat dalam palung yang tak tahu di mana akan menemui ujung, mengapa gulita yang dahulu gemar meracau sesuka hati, akhirnya kalah oleh cahaya jiwamu yang ranum persis baskara di sore hari.
Kalau suatu hari nanti aku tak lagi bisa menggapai genggammu, aku ingin menyampaikan banyak-banyak keinginan untuk secuil temu.
Meskipun hanya lewat derai angin yang melirih rindu, biarkan derunya terdengar di telinga, lalu hembusnya menjamah tiap lekuk tubuh hingga dingin tak lagi dirasa.
Seperti jingga yang tumpahnya mampu membasuhi langit bumi, aku ingin kau mengerti; Meski takdirmu itu memang harus pergi kala waktu sudah di penghujung hari, setidaknya esok lagi kau pasti akan kembali.
Maka, kita tetap bisa melebur bersama di antara ratusan semoga yang dipanjatkan dalam balutan doa. Semoga, ya semoga.
Semoga yang disemogakan tak lagi hanya menjadi semoga yang sia-sia.
Semoga tetap bersama, dengan diiringi kasih, dan dirundung bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H