Gemuruh khawatir menyelinap melewati jendela-jendela kamar, kolong-kolong kasur, sudut-sudut dinding, dan mulai bersua dengan tubuh kuyu yang tak kasat rasa. Telah lama tak pernah lagi kujumpai sekantung saku yang mampu menampung aman penuh syahdu, atau yang pandai membahanakan lagu-lagu penangkal ketakutan.
Gus, apa yang lebih sani dari sukma yang berhenti memadu duka setelah sekian lama dihajar oleh isi kepala?
Pada hidup yang terus melenggangkan biru memeluk tubuh lebih lama, adakah cara lain untuk menerjemahkan luka?
Yang lebih bijaksana, yang lebih adiwarna, yang menolak berputus asa, yang memusuhi kasmala, yang tak pernah melukai-Nya lewat tangan-tangan kasar yang berteriak murka sebab lelah lima kali sehari jumpai tengadah tanpa pernah terima hadiah.
Pun kala harapan-harapan yang sudah susah payah aku tata mulai keropos digerus masa, adakah cari lain untuk menghukum dunia saat ia tengah marah, jahil, dan tidak mempertontonkan realita yang baik-baik saja?
Lantas kuterima sebuah jawaban;
"Rapal syukur dengan hati yang ringan, peluk segala getir hingga habis dimakan oleh kesabaran. Sebab patah, tumbuh, dan tumpah adalah proses menjadi manusia. Pilih segala bentuk bahagia yang telah lama disajikan dan dibagi rata oleh Tuhan. Tidak lebih, juga tidak kurang. Cukup untuk mengukir sebuah senyuman di hati, bibir, dan kedua mata."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H