Lihat ke Halaman Asli

Lebaran Itu Kiamat Bagi Anakku

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Hari kemenangan kusambut dengan rasa gembira bersama keluarga kecilku. Lebaran tahun ini kami tidak berdua lagi namun bertiga bersama sang jagoan kami, si buah hati bernama wahyu. Seperti menikmati kegembiraan kami, bocah tiga bulan ini begitu lincah. Aku dan suamiku pun tidak pernah merasa hari-hari kami begitu melelahkan karena disambut oleh tawa wahyu setiap hari.

Ini saat tepat aku dan keluarga kecilku berencana untuk mengunjungi rumah mertua yang berada di kota. Tak jauh dari perkampungan tempat kami tinggal, maklum kami pun hanya mengontrak rumah kecil-kecilan di kampung ini karena semenjak suamiku menikahiku, tak pernah sekalipun kami menjenguk mertua bahkan sebaliknya. Hal ihwalnya karena aku bukan menantu yang disetujui oleh sang mertua.

Petuah bahwa kakek lebih sayang cucu memang benar, semenjak kelahiran wahyu, hampir sekali seminggu ayah mertua saya menelepon untuk memastikan keadaan wahyu baik-baik saja. Meskipun dia masih enggan untuk datang terlebih dahulu kerumah kami, selalu saja wahyu dititipkan buah tangan oleh kakeknya lewat adik iparku. Terkadang susu, sepatu, baju-baju yang menurutku untuk ukuran anak setahun, bahkan sepeda mainan yang belum bisa dipakai oleh wahyu. Aku maklum saja karena ini adalah cucu pertama dari anak pertamanya.

Pagi ini dengan seadanya kami mengendarai sepeda motor sewaan. Wahyu pakaian lengkap dengan topi biru pemberian kakeknya. Sengaja kupasangkan karena ini adalah kali pertama bertemu dengan si kakek supaya dia melihat wahyu begitu tampan dengan memakai pemberian kakek. Aku sudah merencanakan ini jauh-jauh sebelumnya. Berharap maaf dari kedua mertua ku sehingga akupun bisa diterima dalam keluarga besar mereka.

Bertiga kami ke kota. Namun peristiwa itu takkan pernah bisa aku lupakan. Sebenarnya kami ingin mempersingkat jalan dengan memotong arus lalu lintas yang tidak begitu ramai. Tiba-tiba seorang polisi melihat kami melakukan kesalahan lalu lintas dan langsung mengejar. Dengan gerakan refleks, suamiku menambah kecepatan sepeda motornya. Entah apa yang ada didalam pikirannya, yang pasti saat itu kami setengah mati ketakutan. Kalau ditilang, ini adalah sepeda motor pinjaman dan suamiku tidak memiliki SIM. Ditambah kami berdua pun tidak memakai helm. Apa yang ada dalam pikiran suamiku mungkin saat itu satu-satunya adalah menghindari kejaran polisi. Aku hanya bisa berdoa. Memegang suamiku erat-erat dan tetap menjaga wahyu yang mulai gelisah dalam gendonganku

Naas yang tak bisa kusesali lagi, saat kami kebut-kebutan di jalan sempit sebuah becak dan sepeda motor berada didepan kami. Langsung saja suamiku mengambil jalan diantaranya. Begitu sempit celah untuk melintas, suamiku merasa bagian depan sepeda motor sudah lewat, tapi ternyata ada kepala wahyu yang tidak bebas untuk lewat dan harus terkena stang becak bermotor itu.

Oh Tuhannn, suaranya begitu keras. Seperti nangka jatuh. Aku merasakannya begitu kuat hempasan dikepala anakku. Seketika itu juga seluruh tubuhku lemas, jantungku serasa berhenti dan tiba-tiba suamiku berhenti karena mendengar teriakan ku. Aku melihat polisi itu menangkap sepeda motor kami. Orang mulai beramai-ramai datang dan sepertinya aku mendengar teriakan-teriakan namun semakin menghilang. Aku tersadar sudah berada di Rumah sakit. Tiba-tiba aku teringat anakku. Langsung aku bangkit melihanya. Nafasnya masih satu-satu. Kulihat selang infus dan oksigen sudah terpasang. Tapi aku tidak yakin dengan kondisinya setelah melihat ekspresi dokter. Tiba-tiba dokter menekan-nekan dadanya. Aku masih berharap dalam doa. Mulutku kelu menatap anakku dikelilingi dokter dan perawat yang bertugas.

Ya Tuhan, aku tidak sanggup. Ketika wahyu menghembuskan nafas terakhirnya. Dokter menunjukkan jejas dikepalanya yang begitu lembut dan mengatakan bahwa wahyu telah tiada. Tapi aku tidak ingin mendengar semua itu. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa. Tuhan maafkan aku. Aku tidak tahu harus menyesal, atau menjerit. Rasanya aku ingin ikut mati saja.

Maafkan mama nak, maafkan papa.

*dari seorang ibu yang ingin dimaafkan, based on true story ( kisah di IGD )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline