Lihat ke Halaman Asli

Ris Sukarma

TERVERIFIKASI

Pensiunan PNS

Terangnya Wilayah, Cermin Kemajuan?

Diperbarui: 16 Juli 2023   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: WIRED

Salah seorang calon Presiden pada Pemilu 2024 tebar kritik lagi, katanya ketimpangan RI disebut luar biasa. Dia menyorot wilayah Indonesia 'gelap' di malam hari saat dilihat dari udara. Hanya ada 2 kota yang terang benderang, yaitu Jakarta dan Surabaya. (CNBC Indonesia, 13 Juli 2023). Menurut dia, ini adalah bahwa ketimpangan masih terjadi di Indonesia.

Benarkah terangnya suatu wilayah merupakan cermin kemajuan? Kita boleh berbeda pendapat. Sepintas terlihat ada logika kebenaran dalam kritiknya itu. Tapi itu pandangan dengan logika yang sempit dan dangkal. Apakah kemajuan suatu wilayah itu hanya dilihat dari terangnya lampu di malam hari? Tentu tidak.

Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal - SDGs), yang menjadi komitmen global dimana Indonesia berusaha untuk mencapainya, paling tidak ada 17 indikator yang diukur untuk kemajuan suatu wilayah atau negara, yaitu: tanpa kemiskinan; tanpa kelaparan; kehidupan sehat dan sejahtera; pendidikan berkualitas; kesetaraan gender; air bersih dan sanitasi layak; energi bersih dan terjangkau; pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonom;, industri, inovasi dan infrastruktur; berkurangnya kesenjangan, kota dan permukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, ekosistem lautan, ekosistem daratan, perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh; dan kemitraan untuk mencapai tujuan.

Dengan berkembangnya suatu wilayah, maka meningkat pula penggunaan cahaya di malam hari untuk menerangi bangunan, jalanan dan tempat-tempat umum. Penggunaan cahaya untuk penerangan di malam hari cenderung meningkat dan dikuatirkan akan menimbulkan masalah besar bagi manusia, kehidupan margasatwa dan lingkungan. 

Meningkatnya penggunaan cahaya di malam hari yang tidak terkendali disebut polusi cahaya (light pollution). Laman National Geographic menyebut polusi cahaya sudah menjadi isu global. Cahaya buatan tersebut dapat mendatangkan malapetaka pada ritme tubuh alami pada manusia dan hewan. 

Cahaya malam mengganggu tidur dan mengacaukan ritme sirkadian---jam internal dua puluh empat jam yang memandu aktivitas siang dan malam dan memengaruhi proses fisiologis di hampir semua organisme hidup (https://education.nationalgeographic.org/resource/light-pollution/). Himbauan untuk memandamkan lampu selama satu jam di malam hari, atau Earth Hour, yang diprakarsai oleh WWF, kini menjadi salah satu gerakan akar rumput terbesar di dunia untuk lingkungan. Dengan mematikan lampu pada 25 Maret pukul 20.30, kita akan bergabung dengan jutaan orang lainnya di 190 negara untuk mendukung planet kita dalam mengurangi polusi cahaya.

Penulis yang memiliki hobi menatap taburan bintang di langit malam hari, memiliki teleskop Celestron 6 inci dan tinggal di Jakarta kesulitan untuk melakukan stargazing karena polusi cahaya berat di kota-kota besar seperti Jakarta, dan harus mencari tempat yang jauh di luar kota, di pedalaman. Kecerlangan langit malam di sekitar Observatorium Bosscha di Lembang kian menurun dengan meningkatnya polusi cahaya disekitarnya, sehingga dihimbau agar lampu-lampu di sekitar Bosscha tidak mengarah keatas. Penulis pernah berkunjung ke Moskow tahun 1990an, yang menarik disana adalah bahwa pada malam hari, mobil di dalam kota tidak boleh menggunakan lampu besar/normal, pengendara hanya boleh menggunakan lampu kecil saja, karena kota sudah cukup terang, dan lampu besar akan mengganggu pengendara mobil dari arah berlawanan.

Jadi pendapat bahwa terangnya suatu wilayah menunjukkan kemajuan adalah pendapat yang ketinggalan jaman dan terlihat absurd. Pertanyaannya, apakah sang calon tidak mengetahui hal tersebut, mengingat bahwa yang bersangkutan berpendidikan cukup tinggi. Atau mungkin juga pura-pura tidak tahu dan hanya ingin menarik simpati masyarakat banyak, meskipun pendapatnya terlihat konyol? Tanyalah kepada bintang-bintang yang bertaburan di langit (kalau masih kelihatan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline