Lihat ke Halaman Asli

Ris Sukarma

TERVERIFIKASI

Pensiunan PNS

Pak Pos yang Selalu Dinanti

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_73783" align="alignleft" width="247" caption="(holidayinsight.com)"][/caption] Pak Pos, tukang pos yang mengantar surat ke rumah kita, sekarang tinggal kenangan. Masih ada memang tukang pos yang setia mengantar surat ke rumah kita, tapi mungkin sekarang cuma mengantar tagihan kartu kredit, atau surat ucapan selamat idul fitri atau selamat natal dari teman atau mitra kerja yang masih setia menggunakan kartu ucapan selamat. Dengan berubahnya jaman, berubah pula cara orang berkomunikasi. Tidak bisa kita bayangkan, jaman dulu kita berkomunikasi dengan cara-cara yang sederhana. Dulu, tukang Pos dengan sepeda tuanya, selalu dinanti kedatangannya dengan harap-harap cemas. Apakah menanti kiriman uang dari orang tua di kampung, atau kiriman surat dari sang kekasih yang selalu dirindu. Dengar bunyi bel dari sepeda tuanya yang khas itu saja, hati kita rasanya berbunga. Paling tidak, wesel kiriman orang tua sudah tiba. Artinya, bisa makan enak sambil traktir teman, atau bayar utang ke warung di belakang sekolah. Atau, surat yang yang kita tunggu dari sang kekasih sudah tiba. Isinya? Itulah yang membuat hati dag dig dug. Meskipun serba terbatas, komunikasi jaman dulu tetap bisa berjalan dengan baik. Seperti pepatah dalm bahasa Inggeris: if there is a will, there is a way, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Sewaktu masa sekolah dulu, mau naksir si dia pura-pinjam buku, lalu mengembalikannya plus "bonus" berupa puisi cinta (yang dibuatkan teman yang jago membuat puisi cinta). Yang lebih berani, surat cinta ditaruh di laci meja si dia. Sewaktu ketahuan, sekelas gempar, ada surat cinta nyasar. Soalnya salah menyimpan surat cinta di meja kawan sebelahnya. Sedikit lebih "primitif", surat cinta dilipat, dibuat mainan pesawat-pesawatan dan dilempar ke meja si dia. Tapi jangan sampai salah dan nyasar ke hidung guru yang sedang mengajar. Bisa kena hukuman berdiri didepan kelas sambil kaki diangkat sebelah, aih malunya.... Mengirim lagu buat si dia biasanya melalui studio radio amatir. Kita datang ke studio, mengisi formulir permintaan lagu, dikirim kepada si dia yang sedang belajar di rumah, dengan pesan: salam sayang selalu. Pulang kerumah langsung pasang radio, dan mendengarkan pesanan kita. Apakah si dia juga sedang mendengarkan atau sedang tidur mendengkur, kita tidak tahu. Dulu, sewaktu tilpon masih jarang, kadang kita pinjam tetangga untuk tilpon teman atau saudara, itupun untuk masalah yang sangat penting dan darurat saja, misalnya mengabarkan kerabat yang sakit atau meninggal dunia. Sewaktu masih bertugas di Surabaya tahun 70-an, saya kadang mencuri-curi pakai tilpon kantor saat makan siang untuk nilpon pacar di Jakarta (nah ketahuan ya, suka nyuri-nyuri nilpon). Meskipun cuma sekedar say hello saja, senangnya bukan main. Bos saya yang orang Amerika itu cuma ketawa saja: "keep it short", katanya. Bos saya memang cukup baik hati, karena pacar saya waktu itu adalah keponakan dari teman bos tadi, hehehehe.... Sewaktu saya kuliah di Belanda, suratlah yang menjadi alat komunikasi dengan keluarga di rumah. Waktu itu, awal tahun 80-an, di rumah belum ada tilpon. Pernah coba tilpon dari kantor pos di Belanda ke rumah tetangga, sudah nunggunya lama, eh suaranyapun tidak jelas dan terputus-putus. Sekarang, dengan adanya alat komunikasi yang lebih canggih seperti ponsel dan FB, komunikasi tidak lagi menjadi masalah. Chatting atau berdialog dua arah, dengan lisan atau tulisan, merupakan hal yang biasa. Bahkan dengan Skype kita bisa berbicara sambil melihat lawan bicara kita, misalnya kalau komputer kita dilengkapi webcam. Dunia memang sudah berubah, media komunikasi sekarang ini sudah demikian majunya. Romantika jaman dulu sudah lama lewat. Sekarang, sambil berjalanpun, jari-jari tangan tetap sibuk mencet-mencet ponsel, kirim pesan atau update status, atau bahkan melakukan transaksi. Meskipun demikian, jasa tukang pos perlu tetap kita hargai. Mereka adalah pahlawan pembawa pesan di masa lalu yang besar jasanya. Memang sekarang tugas mereka tidak lagi seberat dulu, tapi bagi masyarakat terpencil, masyarakat yang belum terjamah oleh kemajuan teknologi komunikasi kota besar, jasa mereka tetap diperlukan, dan itu hendaknya tidak kita lupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline