Lihat ke Halaman Asli

Ris Sukarma

TERVERIFIKASI

Pensiunan PNS

“We Eat Everything…”

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Turtle soup (www.beatrcc.com)"][/caption] Nanning adalah sebuah kota sedang di selatan Cina, merupakan ibukota Provinsi Guangxi. Besarnya mungkin hampir sama dengan Surabaya. Dengan penduduk hampir 7 juta jiwa (kotanya sendiri 3 juta jiwa), Nanning seperti gadis yang sedang senang-senangnya bersolek.  Bandaranya baru dan tampak bersih dan apik, berbeda dengan perkiraan sebelumnya dimana dikesankan kota-kota di Cina jorok-jorok dan kotor. Mungkin itu cerita dulu. Jalan dari bandara ke kota tampak baru dan mulus, dan cukup lebar. Karena letaknya berbatasan dengan Vietnam, Nanning seakan berlomba dengan kota-kota di Vietnam yang baru bangkit dari keterpurukan perang berkepanjangan dengan AS. Berdekatan dengan Nanning, ada kota Guilin yang merupakan daerah tujuan wisata di Cina. Guilin terletak di daerah pegunungan, dimana panorama pegunungannya biasa menghiasi lukisan-lukisan klasik Cina. Sayang aku tidak sempat mampir di Guilin, mudah-mudahan lain kali. Berdasarkan catatan sejarah, Nanning sebenarnya kota tua, yang sudah terbentuk lebih dari 1.600 tahun yang lalu dan pernah menjadi pusat militer penting pada jaman dinasti Tang (618-907SM). Memasuki kota Nanning, tampak adanya perubahan yang sedang berlangsung dari suasana permukiman bernuansa kota kecil menuju kota besar yang modern. Jalan-jalan utamanya masih tidak terlalu lebar dan diteduhi pepohonan yang menutupi hampir seluruh jalan. Disepanjang jalan utama deretan toko-toko dengan bangunan arsitektur khas Cina mendominasi kanan-kiri jalan, suasananya mungkin seperti di  daerah Kota di Jakarta tahun limapuluhan, seperti yang aku pernah lihat dalam foto-foto jadul. Di beberapa bagian kota, bangunan-bangunan tinggi mulai banyak bermunculan. Kantor walikotanya sendiri merupakan bangunan bertingkat tinggi, tidak kalah megah dengan gedung Balai Kota Jakarta. Air minum di kota Nanning sudah mencapai hampir penjuru kota, meskipun airnya belum bisa langsung diminum. Cakupan sarana limbahnya sudah mencapai sepertiga kota, dan sedang dalam perluasan untuk mencapai cakupan duapertiga kota. Bandingkan dengan Jakarta yang cakupan air minumnya masih 50% dan hanya memiliki sarana limbah Setiabudi yang melayani kurang dari dua persen penduduk Jakarta.

Kunjunganku ke Nanning sebenarnya dalam rangka meninjau beberapa proyek peremajaan kota Nanning yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri. Di sini, proyek peremajaan kota, yang disebut Small Area Improvement, ternyata mengambil konsep MHT di Jakarta yang pernah dilaksanakan puluhan tahun yang lalu tapi tidak pernah terdengar lagi kelanjutannya. Dengan diantar Miss Liu Zihui, Vice Director dari Project Management Office, aku mengunjungi beberapa lokasi proyek seperti kawasan Jian Cheng di Distrik Xincheng dan kawasan First Lane North Ren Min Road di Distrik Xingning. Banyak kesan menarik yang dapat aku tangkap dari kunjungan singkat ini. Penduduk penerima manfaat yang aku tanyai tahu persis bahwa proyek ini berasal dari dana pinjaman yang harus dikembalikan, sehingga mereka dengan penuh kesadaran memelihara dan merawatnya. Beruntung aku diantar oleh Miss Liu yang fasih berbahasa Inggeris. Ini hal yang jarang, karena umumnya para pejabat Cina tidak bisa berbahasa Inggeris dan semua komunikasi dilakukan dalam dua bahasa. Akhirnya Miss Liu bertindak sebagai penerjemah dalam semua percakapan.

Perjalanan ke kantornya menambah wawasan baru bagiku. Kami dijemput dengan mobil limusin mewah yang katanya mobil dinas punya kantor, lengkap dengan sopirnya. Sewaktu pulang, aku heran ketika dia minta didrop di depan apartemennya yang sederhana di tengah kota. "We are not allowed to use official car for private use" katanya serius, sewaktu aku tanya kenapa mobilnya tidak dia bawa pulang. "It's a violation to our rule", katanya lagi terheran-heran dengan pertanyaanku. Aku baru mau bilang bahwa di Indonesia, mobil dinas biasa dipakai untuk keperluan belanja, mengantar anak ke kantor dan jalan-jalan, dan disimpan di rumah pejabat, tapi aku tidak tega mengatakannya pada dia. Jadi dia biasanya naik sepeda ke kantornya, kemudian mobil dinas dia gunakan untuk berbagai urusan kantor, temasuk mengantar tamu, setelah selesai mobil diparkir di kantor dan dia pulang kembali ke apartemennya pakai sepeda. Meskipun jumlah penduduknya cukup banyak, tapi aku tidak mengalami banyak kemacetan di jalan-jalan kota Nanning, karena sebagian besar penduduknya menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama, dan jalur sepeda disediakan khusus sehingga tidak bercampur dengan kendaraan lain.

Dalam acara makan malam, aku diberitahu bahwa dalam makanan yang disajikan tidak ada yang mengandung babi, karena mereka tahu bahwa aku seorang muslim. "Don't worry, we have no pork to serve" kata Miss Liu sambil memberikan semangkok sup yang tampaknya lezat, "try this" katanya. Memang amat lezat. Setelah selesai makan baru aku diberi tahu bahwa yang baru aku makan adalah sup kura-kura. Aku jadi ingat, Cina terkenal dengan Chinese food-nya yang memasak hampir apa saja yang bisa dimakan. "We eat everything...." kata Miss Liu, "we eat all that have legs except table's legs, and we eat all that have wings except plane's wings", selorohnya. Benar juga kata-katanya. Kutinggalkan Nanning dengan membawa kesan tersendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline