Lihat ke Halaman Asli

Risqi Ariansyah

Universitas Dian Nusantara

Diskursus Kepemimpinan Mangkunegaran IV

Diperbarui: 2 Oktober 2024   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri_Apollo,2012

Nama: Risqi Ariansyah 

Nim: 111211240


Taufik Pasiak, dan Ary Ginanjar telah menulis sebuah buku yang berusaha menyatukan tiga model kecerdasan ESQ (Emotional Spritual Quotient), yang menjelaskan bahwa pentingnya menyeimbangkan dan meningkatkan fungsi otak yang sangat kompleks, ketiganya merupakan sarana yang penting untuk membangun kepribadian manusia yang unggul dalam berbagai bidang. K.G.P.A.A. Mangkunegara IV (1811-1881) telah merumuskan konsep tersebut dengan karya-karyanya yang berbentuk Serat-serat, satu diantara dari Serat-serat tersebut, yaitu: Serat Wedhatama yang memiliki manfaat bagi calon pemimpin atau para pemimpin, untuk membentuk “manusia utama” (manusia sempurna) yang salah satu diantaranya berkaitan erat dengan “kepemimpinan” yang berbalut dengan kebudayaan, dan tanpa meninggalkan aspek teologis (agama) sebagai tuntunan kehidupan umat manusia di dunia. Serat Wedhatama merupakan sebuah jawaban Jangka Jayabaya ciptaan Prabu Jayabaya (1135-1157) terhadap realitas zaman yang berkaitan erat mengenai kepemimpinan, yang sekarang ini memasuki zaman Kala Sumbaga. Suatu kegelisahan penulis dalam memperhatikan realitas akademik yang cenderung mengagungkan pemikiran-pemikiran Barat dalam kebudayaan manusia, padahal negeri ini memiliki tokoh-tokoh, karya-karya, dan kebudayaan yang sangat agung, yang lebih unggul dalam memahami realitas kehidupan, oleh karena itu atas dasar inilah penulis berniat mengangkat nilai-nilai local wisdom atau khasanah kebudayaan negeri tercinta ini yang berada di tanah Jawa. Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui pemikiran K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, dan memahami sebuah pemikirannya tentang konsep kepemimpinan Jawa dalam Serat Wedhatama yang tidak lepas dari sumber ajaran agama Islam, eksplorasi tersebut dikaji melalui dua pendekatan, yaitu: pendekatan historis dan filosofis. Pendekatan historis dipakai untuk memetakan secara kronologis sisi-sisi sejarah yang mengitari suatu konsep, baik sebelum maupun sesudahnya. Pendekatan filosofis digunakan untuk menganalisis dan mengungkap sebuah makna dibalik teks dalam jangkauan yang lebih radik, implisit, dan objektif. Dari kedua pendekatan tersebut telah diketahui bahwa tentang konsep kepemimpinan religius Jawa dalam Serat Wedhatama. Tetapi terdapat tahapantahapan dan persyaratan untuk mencapai tingkatan tersebut, begitu pula dengan hal tersebut, tidak terlepas dari esensi historisnya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV sebagai raja Mangkunegaran yang beragama Islam. Di dalam konsepnya terdapat prosedur-prosedur untuk mencapainya yang sejati yaitu: Sembah raga dengan cara salat lima waktu. Sembah cipta untuk untuk membersihkan hati. Sembah jiwa merasakan sukma sebagi laku batin. Dan Sembah rasa atau rasa sejati yaitu: rasa yang halus (kedamaian batin). Untuk memujudkan manusia sebagai pemimpin religius yang berpadu dalam budaya sebagai jatidiri bangsa.

Mangkunegara IV lahir pada 3 Maret 1811 dengan nama Raden Mas Sudira. Mangkunegara IV adalah anak ketujuh dari Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli yang merupakan anak dari Mangkunegara.  II

R.M. Sudira pada masa kecilnya tidak mendapatkan pendidikan formal, namun pendidikan diberikan secara privat. Ia juga mendapatkan tuntunan dari orang-orang Belanda yang didatangkan oleh K.G.P.A.A. Mangkunagara II, yang selain untuk menuntun Pangeran Riya yang dipersiapkan sebagai K.P. Prangwadana III, juga ditugasi mendidik R.M. Sudira. Pengajaran yang diterimanya antara lain bahasa Belanda, tulisan Latin dan pengetahuan lainnya. Para ahli bahasa Dr. J.F.C. Gericke dan C.F. Winter adalah termasuk juga guru-gurunya.

Sebagaimana para putera bangsawan tinggi Mangkunagaran, pada umur 15 tahun R.M. Sudira menjadi kadet di Legiun Mangkunagaran. Menurut tulisan Letnan Kolonel H.F. Aukes, para kadet dilatih sendiri oleh para perwira senior Legiun, sementara instruktur Belanda hanya ditugasi membantu memberikan pendidikan pelajaran. Setelah lulus pendidikan selama setahun, R.M Sudira ditempatkan di kompi 5 sebagai perwira baru

Beberapa bulan setelah R.M. Sudira bertugas di kancah pertempuran, ia menerima kabar bahwa ayahandanya K.P.H. Hadiwijaya I wafat. Ia mendapatkan izin kepada kakeknya, K.G.P.A.A. Mangkunagara II yang sekaligus menjadi panglimanya, untuk pulang dan memberikan penghormatan terakhir kepada ayahandanya.

Setelah pemakaman, R.M. Sudira kembali ke kancah pertempuran. Pasukan Legiun berhasil mengalahkan dan menangkap Panembahan Sungki, yaitu pemimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro.

Beberapa bulan setelah R.M. Sudira bertugas di kancah pertempuran, ia menerima kabar bahwa ayahandanya K.P.H. Hadiwijaya I wafat. Ia mendapatkan izin kepada kakeknya, K.G.P.A.A. Mangkunagara II yang sekaligus menjadi panglimanya, untuk pulang dan memberikan penghormatan terakhir kepada ayahandanya.

Setelah pemakaman, R.M. Sudira kembali ke kancah pertempuran. Pasukan Legiun berhasil mengalahkan dan menangkap Panembahan Sungki, yaitu pemimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro.

Setelah mendapat gelar Pangeran nama R.M Sudira diubah menjadi K.P.H. Gandakusuma. Ia menikah dengan R.Ay. Semi, dan dikaruniai 14 anak. Tidak lama setelah KGPAA Mangkunagara III meninggal tahun 1853, K.P.H. Gandakusuma diangkat menjadi KGPAA Mangkunagara IV. Kurang lebih setahun bertahta kemudian menikah dengan R.Ay. Dunuk, putri dalem (anak kandung) Mangkunagara III.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline