Lihat ke Halaman Asli

Risno Ibrahim

Orang Biasa

Eksklusivisme Makna Kafir: Bukti Kesombongan Spiritual Umat Islam?

Diperbarui: 10 November 2024   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagian orang Islam memahami “kafir” justru berpotensi mencederai nilai-nilai keadilan dan kasih sayang yang sebenarnya menjadi inti ajaran Islam. Memandang "kafir" sebagai sekadar label untuk orang non-Muslim adalah penyederhanaan yang berbahaya dan bisa membawa umat Islam pada kesombongan spiritual, merasa lebih tinggi daripada orang lain hanya karena perbedaan agama. Padahal,  seseorang bisa saja dianggap lebih dekat dengan “kafir” jika ia berbuat zalim, tidak peduli seberapa kuat identitas Islamnya. Ini tantangan bagi umat Islam untuk meninjau ulang pemaknaan yang sudah terlalu sempit, yang bukan hanya bisa menimbulkan intoleransi, tapi juga menodai prinsip Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam.

Dalam bukunya Islam Tuhan Islam Manusia, Haidar Bagir mengkaji makna kata "kafir" dalam Islam dari perspektif yang lebih luas, membuka ruang pemahaman yang lebih inklusif dan kritis atas konsep ini. Pandangan Haidar Bagir menantang pemahaman tradisional yang kerap menyempitkan makna “kafir” sebagai sebutan bagi siapapun yang tidak beragama Islam, atau yang dianggap "musuh" oleh sebagian pihak. Menurut Haidar Bagir, pemahaman tersebut justru melenceng dari esensi ajaran Islam yang hakiki, dan sering disalahgunakan untuk membenarkan perlakuan tidak adil atau penghakiman yang dangkal terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Melalui pendekatan ini, Bagir menyarankan agar konsep "kafir" dipahami dengan mempertimbangkan konteks, tingkat kesadaran seseorang terhadap kebenaran, serta aspek keadilan dan kemanusiaan yang menjadi inti dari Islam.

Secara historis, istilah "kafir" berasal dari bahasa Arab yang berarti “menutup” atau “menyembunyikan.” Dalam Al-Quran, kafir merujuk pada sikap atau tindakan seseorang yang menutup diri dari kebenaran atau menolak secara sadar kebenaran yang telah jelas baginya. Maka, menurut Bagir, tidak semua yang beragama lain dapat disebut kafir. Seseorang yang belum mengenal Islam atau belum mengakui kebenaran Islam secara sadar dan sepenuhnya, tidak otomatis masuk dalam kategori ini. Dengan demikian, pandangan yang Haidar Bagir tawarkan menghindari sikap eksklusif, dan mendukung sikap terbuka yang selaras dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Haidar Bagir berpendapat bahwa label kafir seharusnya tidak sembarangan disematkan, melainkan harus melalui pemahaman mendalam atas konteks dan latar belakang seseorang. Dalam perspektifnya, kafir merujuk pada mereka yang menolak kebenaran bukan karena ketidaktahuan atau alasan eksternal, melainkan karena sikap yang sengaja, yaitu penolakan terhadap keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Maka, seseorang yang melakukan tindakan yang tidak adil, menzalimi, atau berbuat kejam, meskipun ia beragama Islam, sebenarnya lebih dekat dengan makna kafir yang sesungguhnya daripada seseorang yang beragama berbeda tetapi berperilaku baik dan menghargai prinsip-prinsip keadilan.

Pendekatan ini memiliki dampak penting dalam memahami konsep hubungan antaragama dalam Islam. Melalui pemahaman yang lebih kontekstual, Haidar Bagir menunjukkan bahwa Islam sebenarnya mengajarkan keterbukaan terhadap perbedaan agama, dengan syarat adanya kesamaan prinsip dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Ini tercermin dalam banyak ayat Al-Quran yang mengajak umat Islam untuk berinteraksi dengan damai dan saling menghormati dengan pemeluk agama lain. Pandangan Haidar Bagir seolah menyarankan agar umat Islam tidak terlalu cepat memberi label kafir pada pihak lain hanya karena perbedaan keyakinan, tetapi melihat lebih jauh pada tindakan dan sikap hidup mereka.

Dari perspektif ini, terlihat bahwa Bagir memperluas konsep kafir dengan memperkenalkan dimensi moral dan etis dalam menilai seseorang, tidak sekadar berdasarkan identitas agama. Hal ini menekankan nilai-nilai kemanusiaan yang sering kali menjadi dasar dari semua agama. Menurutnya, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin seharusnya menjunjung tinggi nilai kasih sayang dan penghormatan kepada sesama manusia tanpa memandang latar belakang agama mereka. Jika seseorang hidup dalam prinsip-prinsip keadilan, kedamaian, dan kemanusiaan, Haidar Bagir menilai bahwa orang tersebut lebih layak dihargai daripada mereka yang beragama Islam tetapi tidak mengamalkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupannya.

Namun, pandangan inklusif ini tidak jarang mendapatkan tantangan dari sebagian kalangan yang memegang teguh interpretasi tradisional. Banyak yang berpendapat bahwa Islam harus memiliki garis yang tegas mengenai siapa yang termasuk dan siapa yang tidak, karena dianggap sebagai cara menjaga identitas keagamaan. Dalam pandangan ini, label kafir digunakan sebagai cara untuk membedakan "kita" dari "mereka." Namun, kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa interpretasi sempit tersebut dapat melahirkan eksklusivitas dan intoleransi yang sebenarnya bertentangan dengan semangat Islam sebagai agama yang universal dan membawa kedamaian.

Dengan pendekatan yang lebih fleksibel,  haidar Bagir mendorong umat Islam untuk berfokus pada esensi, bukan pada identitas formal semata. Pandangan ini juga memungkinkan adanya dialog antaragama yang lebih sehat dan produktif, karena tidak dilandasi oleh prasangka dan penghakiman negatif sejak awal. Dalam era modern yang semakin plural dan beragam ini, pendekatan yang inklusif ini juga berkontribusi terhadap perdamaian dunia, mengurangi potensi konflik yang kerap muncul dari sikap fanatisme dan eksklusivitas keagamaan.

Selain itu, pendekatan Haidar Bagir terhadap konsep kafir juga mengandung kritik terhadap praktik-praktik yang menjurus pada penghakiman moral sepihak yang sering kali terjadi di kalangan umat Islam. Label “kafir” sering kali dijadikan senjata untuk menghakimi orang atau kelompok yang berbeda pandangan, dan ini sering kali digunakan dalam ranah politik dan sosial. Pemikiran Haidar Bagir mengajak umat Islam untuk lebih introspektif, melihat ke dalam diri sendiri, apakah mereka sudah benar-benar mengikuti prinsip Islam yang sejati dalam kehidupan sehari-hari.

Daripada sibuk menghakimi orang lain sebagai kafir atau bukan, umat Islam seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan dalam diri mereka sendiri.
Dengan merujuk pada esensi Al-Quran yang mengutamakan keadilan, kasih sayang, dan kedamaian, Haidar Bagir mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam sikap fanatik yang hanya merusak citra Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Pandangan ini mengundang kita untuk melihat konsep kafir dari perspektif moral dan spiritual yang lebih luas, serta menghargai keberagaman sebagai bagian dari kehendak Tuhan yang mesti dipahami dengan rasa syukur, bukan kebencian.

Pada akhirnya, dalam konteks modern, interpretasi Haidar Bagir terhadap konsep kafir memberikan landasan untuk membangun hubungan antaragama yang lebih harmonis, dengan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Toleransi dan saling menghormati menjadi dasar utama dalam interaksi antarumat beragama, yang justru menjadi bukti bahwa Islam benar-benar membawa kedamaian dan kasih sayang, bukan kebencian dan permusuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline