Lihat ke Halaman Asli

risnaridwan

Mahasiswa

Kekerasan Fisik:Santri Dianiaya Penguris Ponpes Usai Diduga Mencari Polisi Turun Tangan

Diperbarui: 7 Januari 2025   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Foto: Edi Wahyono/detikcom). 

Risna (Mahasiswi perbankan syariah IAIN kota parepare)

Kekerasan fisik adalah tindakan yang menggunakan kekuatan tubuh untuk menyebabkan luka, cedera, atau kerusakan pada tubuh orang lain. Ini bisa melibatkan pukulan, tendangan, pemukulan, atau bahkan penggunaan senjata untuk menyerang fisik korban. Kekerasan fisik juga dapat mencakup perilaku agresif lainnya seperti mencubit, menendang, atau menarik rambut. Selain menyebabkan luka fisik, kekerasan fisik juga sering kali meninggalkan dampak psikologis yang mendalam pada korban, yang bisa memengaruhi kesehatan mental mereka dalam jangka panjang.

Kasus kekerasan fisik kembali mencuat di lingkungan pendidikan, kali ini terjadi di sebuah pesantren di mana seorang santri diduga dianiaya oleh pengurus setelah dituduh mencuri. Tanpa investigasi yang jelas, pengurus pesantren diduga melakukan tindakan main hakim sendiri, mengakibatkan korban mengalami luka fisik dan trauma psikologis. Keluarga korban melaporkan insiden ini kepada polisi, yang kini tengah melakukan investigasi dengan memeriksa saksi dan mengumpulkan bukti. Kasus ini mencerminkan masalah serius terkait kekerasan fisik yang masih sering dianggap sebagai cara mendidik di beberapa lembaga pendidikan, meskipun tindakan tersebut melanggar hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.

Seorang santri di sebuah pesantren diduga menjadi korban kekerasan fisik berupa penganiayaan yang dilakukan oleh pengurus pesantren. Kejadian ini berawal dari tuduhan bahwa santri tersebut mencuri barang milik orang lain. Tanpa melalui proses klarifikasi atau investigasi, pengurus pesantren mengambil tindakan main hakim sendiri dengan menganiaya korban. Insiden ini terjadi di lingkungan pesantren dan baru diketahui publik setelah keluarga korban melaporkannya kepada pihak kepolisian. Akibat kejadian tersebut, korban mengalami luka fisik dan trauma psikologis. Saat ini, polisi tengah melakukan investigasi dengan memeriksa saksi-saksi serta mengumpulkan bukti guna mengusut tuntas kasus ini.

Penganiayaan, terutama dalam bentuk kekerasan fisik seperti memukul, adalah tindakan yang sangat tidak dibenarkan dalam konteks pendidikan atau interaksi manusia pada umumnya. Sebuah sistem pendidikan, baik itu di sekolah, pesantren, atau institusi lainnya, seharusnya berfungsi untuk mengajarkan nilai-nilai moral, pengetahuan, dan karakter yang positif, bukan untuk menumbuhkan rasa takut atau trauma. Kekerasan fisik bertentangan dengan tujuan utama pendidikan, yaitu untuk membimbing dan membantu individu berkembang secara baik, baik secara fisik maupun mental. Ketika seseorang dipukul atau dianiaya, selain melukai tubuhnya, dampak psikologis yang ditimbulkan sering kali jauh lebih dalam. Korban bisa mengalami trauma yang bisa memengaruhi kepercayaan diri, hubungan sosial, dan pandangan mereka terhadap dunia sekitar.

Salah satu penyebab utama kekerasan adalah ketidakmampuan pengurus pesantren untuk mengendalikan emosi mereka. Ketika seseorang merasa marah, frustrasi, atau cemas, mereka cenderung bereaksi secara impulsif. Dalam kasus ini, pengurus pesantren yang marah karena tuduhan pencurian mungkin kehilangan kendali atas emosinya, dan bukannya menyelesaikan masalah dengan cara yang bijak, mereka memilih untuk melampiaskan perasaan mereka melalui kekerasan fisik. Ini menunjukkan bahwa pelaku tidak mampu mengelola perasaan mereka dengan cara yang lebih rasional dan konstruktif, sehingga mereka beralih ke perilaku agresif yang merugikan korban.

Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak relevan dan tidak dapat dibenarkan dalam konteks pendidikan atau hubungan antar manusia, terutama di zaman sekarang. Di masa lalu, kekerasan sering dianggap sebagai metode yang sah untuk mendisiplinkan anak atau peserta didik, dengan anggapan bahwa hukuman fisik akan mengajarkan mereka pelajaran penting atau memberi efek jera. Namun, seiring dengan berkembangnya pemahaman tentang psikologi anak dan pendidikan yang lebih berbasis pada empati, pendekatan tersebut terbukti keliru. Penelitian modern menunjukkan bahwa kekerasan fisik bukan hanya tidak efektif dalam mengubah perilaku tetapi juga memiliki dampak psikologis yang merugikan, seperti trauma, kecemasan, dan gangguan emosional yang dapat bertahan lama.

Penganiayaan di Indonesia diatur dalam KUHP, terutama Pasal 351 hingga Pasal 359, yang memberikan sanksi bagi pelaku kekerasan fisik. Pasal 351 mengatur penganiayaan ringan dengan ancaman hukuman hingga 2 tahun 8 bulan penjara, sementara Pasal 359 mengatur penganiayaan yang menyebabkan kematian dengan ancaman pidana hingga 5 tahun. Selain itu, UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) melarang kekerasan fisik terhadap anak, termasuk di lembaga pendidikan, dengan sanksi hukum berat bagi pelaku. Undang-undang ini menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikologis, maupun seksual, merupakan pelanggaran serius.

Agama seharusnya memainkan peran penting dalam membentuk moral dan etika seseorang, termasuk dalam hal perilaku kekerasan. Banyak ajaran agama yang menekankan pada kasih sayang, pengampunan, dan kedamaian. Dalam konteks Islam, misalnya, ajaran-ajaran seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis jelas mengutuk kekerasan dan memerintahkan umatnya untuk saling menghormati, membantu, dan berbuat baik terhadap sesama. Begitu juga dengan agama-agama lain seperti Kristen, Hindu, dan Buddha, yang menekankan prinsip-prinsip cinta kasih dan penghormatan terhadap kehidupan. Dengan demikian, agama sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi filter moral yang kuat bagi perilaku kekerasan, asalkan ajaran-ajaran tersebut dipahami dan diterapkan dengan benar.

 Islam melarang keras menyakiti sesama manusia, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam Surah Al-Isra' (17:70), Allah menegaskan bahwa manusia dimuliakan dan diberi kelebihan, sehingga harus saling menghormati. Surah Al-Hujurat (49:11) melarang penghinaan dan mendorong untuk menjaga hubungan baik antar sesama. Selain itu, Surah An-Nisa' (4:29) mengingatkan untuk menjaga hak-hak orang lain, menghindari ketidakadilan, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ajaran ini menegaskan pentingnya keadilan, penghormatan, dan kasih sayang dalam hubungan antar manusia sesuai prinsip Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline