Lihat ke Halaman Asli

Risma Achmad

Penulis lepas

Di Penghujung Harimu

Diperbarui: 29 Juni 2020   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash.com

Menua bersama adalah impian kita berdua, namun berada di tempat ini adalah hal yang tidak pernah kita rencanakan. Sesekali aku berpikir, “Kita punya anak-anak yang cukup sukses, mereka mapan dan tentu saja bisa merawat kita”,namun kau selalu bilang untuk tidak merepotkan, sebab mereka sangat sibuk dan punya tanggungan. Kau memintaku bersabar,  memahami situasi ini , dan seperti biasanya, aku tak pernah bisa menolak permintaanmu.

Sejak dulu kau adalah orang yang selalu menguatkan, membimbing dan menemaniku, jadi kaulah alasan yang membuatku bertahan hingga saat ini, tak apalah jika harus menua di panti jompo ini, asal ada kamu disampingku. Sejak muda, aku tak pernah merasa repot menyiapkan perlengkapanmu setiap hari. Tanpa kau ketahui, sesewaktu aku menatap wajah manismu dalam-dalam, menghitung kerutan-kerutan  yang semakin tajam, semakin kau menua semakin tampan pula kau di hati dan jiwa ragaku, sebab aku tahu cintamu yang paling tulus jika dibandingkan anak-anak yang telah merobek rahimku satu persatu berpuluh-puluh tahun lalu.

Diantara kita berdua, kamu yang paling bisa menahan emosi, aku tak bisa menyembunyikan amarahku dan kamu selalu sabar mendengarkan setiap umpatanku, lalu dengan bijaksana menasihati. Kamu selalu punya cara untuk membuatku tenang.  Kamu juga bekerja keras siang dan malam untuk membuat dapur keluarga kita mengepul serta memastikan semua kebutuhan anak-anak terpenuhi. Ya, saat kita muda dulu, kita selalu mengusahakan yang terbaik untuk mereka sehingga aku berkecil hati, ketika mereka dengan gampangnya mengirim kita ke tempat ini. Jika mengingat hal itu aku pun tak bisa menahan air mata dan hatiku semakin sakit. Menjadi tua memang melelahkan apalagi ketika harus merepotkan anak-anak yang telah menganggap kita beban. Rasanya tak sabar menunggu kedatangan malaikat maut.

Suatu hari kita pernah berdiskusi tentang kematian. Jika salah satu dari kita berpulang maka kamu meminta untuk mendahuluiku. Kita sempat berdebat panjang tentang itu, bahkan kita pernah terinspirasi untuk mati bersama-sama di atas ranjang sambil berpelukan, seperti adegan telenovela yang sering kutonton, tapi kau khawatir tidak akan ada yang menangisi kepergian kita nantinya dan itu terdengar sangat menyedihkan. Rasanya perjuangan hidupmu sia-sia ketika tak ada satu orang pun yang menangisi kepergianmu. Aku yakin bahwa akulah yang akan mati duluan mengingat sederet riwayat penyakit yang kumiliki. Namun kau tak mau jika aku yang pergi duluan, karena kau tidak mau menjadi kakek renta yang kesepian. Aku tersenyum dan menggodamu, mengingatkan bahwa di tempat ini juga banyak nenekk-nenek kesepian yang siap kau rayu. Kita pun tertawa lepas, candaan seperti itulah yang membuat kita terhibur dan sesaat melupakan rindu untuk menemui anak-anak


Sayangnya, sudah seminggu gula darahmu tidak stabil, terus meningkat dan mempengaruhi jantungmu. Kamu terbaring tanpa sepatah kata apalagi senyuman. Alat-alat kesehatan yang menancap di ragamu membuatku cemas. Aku sudah berusaha menghubungi anak-anakmu, mereka yang kau biayai hingga menjadi sangat sibuk saat ini tak ada satu pun yang merespon panggilanku, meski kau yang selalu menguatkanku untuk memahami kesibukan mereka, tapi aku tahu kau juga rindu untuk bertemu apalagi di usia kita saat ini yang hanya menunggu datangnya ajal. Tapi maaf,  aku gagal memanggil mereka untuk menemuimu. Tetesan – tetesan keringatmu yang dulu sirna, hilang tak berbekas dalam kehidupan mereka. Aku kecewa amat kecewa, kuyakin kamu juga.

Pagi ini gerimis turun perlahan dan aku masih duduk disampingmu, menemanimu dari semalaman. Hari ini kamu tidak lagi terbaring di tempat tidur atau pun terganggu dengan bunyi peralatan yang menancap di tubuhmu. Perawat-perawat muda itu sudah menyuruhku untuk beristirahat, namun aku tak mau beranjak kecuali jika mereka mau memindahkan petimu ke ranjangku. Aku tak bisa meninggalkanmu sendirian. Persis seperti permintaanmu, akhirnya kau yang mendahuluiku untuk pergi bersama malaikat maut dan aku yang menangisi kepergianmu. Aku kehilangan, sangat kehilangan. Pagi ini kau harus dikebumikan, tak peduli seberapa besar rasa kehilanganku, petugas panti akan cepat-cepat membawa jenasahmu. Kau tahu aku menangis sejadi-jadinya dan sebelum mereka mengangkat petimu aku ingin sekali lagi menatap wajahmu, menghitung kerutan-kerutan tajam disana yang membuatmu semakin tampan. Di penghujung harimu, izinkan aku mengecup keningmu dan mengucapkan selamat tinggal. Tunggulah aku di surgaNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline