Ada dua alasan orang membuat rajah atau tato permanen ditubuhnya. Pertama, ia amat mencintai seseorang atau sesuatu. Kedua, ia amat membenci seseorang atau sesuatu. Tapi untuk Adinda, kedua alasan itu berlaku. Mau tahu ceritanya?
***
"Kan dulu udah gue bilang berkali-kali, sekarang baru tau rasa kan Lo, Nyet." Suara cempreng bak kaleng krupuk itu keluar dari bibir Siska. Adinda yang diajak bicara, hanya bisa diam. Ia memandangi rajah di tangan kirinya dengan mata yang sembab. Empat huruf kecil berwarna hitam menetap disana. Tintanya sudah menyatu dengan kulit putihnya.
Ia teringat bagaimana lika-liku rajah itu bisa hadir. Kala itu inner circle-nya sudah memperingatkan keinginannya itu. Belum lagi perjuangan mendapatkan restu Ayahnya yang sungguh tak mudah. Dan tak lupa, betapa menyakitkan proses pembuatannya. Tambah lagi sedikit alergi yang sempat dialaminya. Semuanya ia lewati karena ada seseorang yang menjadi alasan. Yah, cinta tidak buta, tapi kadang (baca: sering kali) membutakan. Benar kan?
Itu baru awalnya. Yang terjadi setelah rajah itu hadir, tak kalah hebat. Adinda harus membiasakan diri menerima pandangan minor dari orang-orang yang dikenalnya. Mulai dari saudara, tetangga, teman sekantor, hingga klien. Beruntung untuk yang terakhir ini, termaafkan oleh grade KPI Adinda selalu baik. Paling tidak, sampai saat ini.
Adalah Enzo, pemuda tampan berusia akhir dua puluhan yang membuat Adinda secara sukarela membuat rajah di kulit putih mulusnya. Dua tahun merajut kisah kasih membuat wanita cantik berusia dua puluh enam tahun itu meyakini sesuatu. Ia yakin bahwa pengusaha muda itu adalah pria yang tepat. Ia pun telah menyiapkan tempat paling istimewa di hatinya. Ia mentahbiskan Enzo sebagai pilihan hatinya. Walau ternyata yang digadang-gadang ternyata sama sekali tidak layak.
Bagi Adinda, rajah itu adalah bukti cintanya. Prasasti yang menandakan komitmennya. Ia melihat Enzo adalah pria yang akan menjadi masa depannya. Sampai satu peristiwa pengkhianatan, menghancurkan semuanya menjadi puing-puing. Butuh waktu berbulan-bulan bagi Adinda untuk menata hati kembali, move on. Namun empat huruf itu selalu menghantuinya. Empat huruf itu selalu menyeret hari-harinya dalam lamunan bahkan dalam keramaian.
"Gue harus bagaimana, Sis? Gue ngga mau saban hari menatap nama bedebah sialan ini," kata Adinda sambil menggoyangkan lengan sahabatnya itu.
"Tenang dulu, gue juga lagi mikir nih. Salah Lo juga sih jadi orang terlalu hopeless romantic. Makanya jangan kebanyakan nonton drama Korea," jawab gadis berwajah oriental itu. Walau mulutnya ember, sebenarnya Siska sangat peduli dan perhatian pada Adinda. Dan lagi, orang yang mengenalkan Adinda pada Enzo adalah dirinya. Sedikitnya ada perasaan bersalah dalam hatinya.
"Solusinya sih mudah, tapi masalahnya, Lo mau atau ngga?" timpalnya lagi.