Lihat ke Halaman Asli

Risman Senjaya

Writer Wannabe

Jakarta Oh Jakarta

Diperbarui: 2 November 2020   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang yang bilang kalau uang itu tidak penting, pasti belum pernah merasakan kekurangan uang sepanjang hidupnya. Mungkin dia anak sultan yang kekayaannya tak habis dibagikan untuk tujuh turunan. 

Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya dibeli dengan uang. Bisa juga dibeli dengan kartu kredit sih. Tapi tetap saja tagihan kartu kreditmu, dibayar dengan uang kan?  

Apa katamu? Uang tidak mampu membeli kebahagiaan? Iya, Aku setuju. Tapi segala yang membuatmu bahagia, dibeli dengan uang kan? Sudahlah, intinya saat ini aku butuh uang. 

Pekerjaan apa pun akan kulakoni, yang penting aku mendapatkan uang untuk menafkahi istri dan dua anakku. Seperti sekarang ini, aku menjadi supir pribadi. Persetan dengan gengsi sebagai sarjana ekonomi dan mantan Asisten Manajer. Pandemi bedebah!

"Dayat, nanti kamu jemput  Dita di apartemen Golden Sky jam 7 malam. Antar ke tempat biasa. Yuk, kita berangkat!" Perintah Pak Budi Santoso, membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk dan segera bangkit membukakan pintu Vellfire putih yang menjadi tanggungjawabku. 

Wajah Pak Budi terlihat kusut, mungkin urusan pekerjaannya sedang rumit. Beliau adalah majikanku yang juga anggota DPAR (Dewan Perwakilan Amanat Rakyat) dari partai Pohon Rindang. Sudah tiga bulan ini aku bekerja sebagai salah satu dari supir pribadi di keluarganya.

***    

"Asih?" ujarku ragu menatap sosok wanita cantik berusia kira-kira awal dua puluhan didepanku. Ia menatapku lekat, lalu menutup mulutnya terkaget.

"Kang Dayat? Iyeu teh Kang Dayat? Kang Dayat teh siapanya Om Budi?" tanya wanita berambut gelombang kecoklatan itu. Dengan blouse putih, blazer dan rok midi berwarna peach, wanita bernama Dita Sumiarsih itu tampak anggun berkelas.

"Akang teh supir pribadi pak Budi Santoso. Sini kopernya, biar Kang Dayat yang bawa. Yuk berangkat, kita ngobrol sambil jalan aja." Aku lalu melangkah meninggalkan lobi apartemen. Asih mengikuti langkah cepatku menuju parkiran. Sesampainya di mobil, Asih duduk di baris dua alih-alih di sampingku.

Kulajukan mobil bermesin 2500cc itu membelah lalu lintas ibukota menuju arah selatan. Tujuanku adalah sebuah rumah di kawasan yang terkenal dengan sirkuit kebanggaan negeri ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline