Tak kusangka akan menginjakkan kaki lagi di kota ini. Kota yang membuat hidup dan cintaku tak sama lagi. Kota yang menyimpan salah satu episode kelam dalam hidupku. Tiga tahun lalu kota ini kutinggalkan untuk melupakan seseorang.
Konyolnya saat ini aku kembali untuk seseorang yang dulu aku coba lupakan. Kadang seseorang menemui takdirnya justru saat ia berusaha menjauhinya. Isn't it ironic?
Dari balik kaca taksi, aku memandang keluar. Kulihat gedung-gedung tinggi kawasan Slipi berdiri angkuh. Mereka semua tampak meremehkan dan menertawakan aku. "Pecundang itu kembali pulang dengan segala kebodohannya," begitu mungkin tutur mereka padaku. "Memang aku ini seorang pecundang. Puas kau!" benakku menatap nanar pada gedung-gedung angkuh itu.
Lamunanku terhenti oleh nada dering gawai. Karin yang duduk dibaris belakang bersama Dona, menerima telepon dari seseorang. Ia berbisik seperti tidak ingin terdengar olehku. Cukup lama dia berbicara dan sepertinya penting.
"Jadi lo semua belum mau cerita nih? Gue masih bingung, darimana lo semua bisa dapat alamat gue," tanyaku sambil memutar badan kebelakang menatap Karin dan Dona bergantian.
"Udah deh, nanti juga Aa Ferdi akan tahu semuanya," ujar Karin sambil memalingkan wajahnya menghidari tatapanku. Dona pun begitu.
Setengah kesal, aku memutar kembali posisi duduk. Kulirik Tag Heur-ku saat taksi memasuki pintu masuk sebuah rumah sakit di bilangan Bendungan Hilir. Sepuluh menit lewat dari pukul tujuh malam. Kuikuti langkah cepat Karin dan Dona menyusuri selasar rumah sakit yang cukup megah, lalu menaiki lift menuju lantai delapan.
Didepan sebuah kamar VIP, langkah Karin dan Dona terhenti. Karin memberi isyarat padaku agar masuk kedalam. Kuhirup nafas dalam, lalu kuhembuskan perlahan sebelum membuka pintu. Saat aku masuk, seorang pria duduk membelakangiku disebelah ranjang tempat Meira terbaring. Ia lalu menoleh, dan membuatku terkejut dan heran.
"Pak... Gusman...? Anda pak Gusman Arya Wisesa?" tanyaku ragu. Pria itu nampak santai, lalu tersenyum mengangguk padaku. Ia seperti sudah siap menyambut kedatanganku. Ia lalu bangkit dan mempersilahkanku duduk di sofa.
Pria pemilik perkebunan kopi tempatku bekerja itu menatapku hangat. Aku balas menatapnya sehangat mungkin, walau puluhan tanya masih mengitariku.
"Apa kabarmu nak Ferdi? Kebun kopi di Lampung Barat sana aman-aman saja kan?" tanya pria berusia sekitar limapuluhan tahun itu sambil menghirup espresso yang tersaji di meja.