Ryan dan Mei berdiri melayangkan pandang ke arah selatan. Kedua insan itu bergeming, asyik dengan jalan pikirnya masing-masing. Angin malam lembut menerpa, membuat rambut indah Mei tergerai. Ryan tersadar dari diamnya dan memandang ciptaan Tuhan yang indah, sosok Mei. Raut wajah Mei saat itu terlihat sangat berbeda dari yang biasa ia lihat. Tiada wajah riang penuh percaya diri menantang dunia. Yang ada adalah wajah dengan tatapan kosong seakan menyimpan kesedihan. Ryan ingin memulai pembicaraan, namun urung dilakukannya. Ia ingin Mei yang memulai.
Mei lalu duduk diatas kotak kayu, dan mengeluarkan isi dari tote bag-nya. Chivas Regal 12 years old beserta gelasnya. Dituangkannya minuman beralkohol itu dalam gelas sampai memenuhi setengah bagian. Dipandanginya sejenak, lalu ia meminumnya dalam sekali teguk. Sambil memejamkan mata, Mei menikmati tegukan pertama dari minuman yang sebotolnya berharga jutaan rupiah itu. Ryan lalu ikut duduk disebelah Mei. Ia lalu memegang botol minuman keras yang diminum Mei dan memandangnya dengan lekat. Seingatnya, kadar alkoholnya cukup tinggi. Bukan untuk pemula yang baru coba-coba.
"Hidup sepertinya akan lebih mudah bila ada pil amnesia yah A... Telan saja sebutir, lalu kenangan akan masa lalu yang kelam, rasa sakit hati, penyesalan dan perasaan bersalah akan hilang selamanya. Lalu esoknya kita bisa melanjutkan hidup dengan ringan tanpa beban," tutur Mei dengan tatapan kosong. Kalimat pembuka yang sungguh membuat Ryan tersentak. Ia tak menyangka kata-kata ajaib itu bisa keluar dari mulut Mei. It feels like drink whiskey for the first time.
Hening sesaat kemudian, kedua insan itu hanya menatap lalu lalang mobil di bawah mereka dari atap apartemen Kota Ayodhya. Hanya ada sedikit bintang berkeliaran malam itu. Bermandikan temaram bulan sabit, mereka larut dalam bahasa kalbu.
"Kalau pil amnesia itu benar-benar ada, apakah kamu mau menukarnya dengan seluruh harta yang kamu punya?", tanya Ryan sejurus kemudian. Mei kembali meneguk minuman di tangannya lalu menjawab, "Tentu saja Neng bersedia, tak peduli seberapa besar Neng harus membayarnya. Kalau hanya uang, Neng bisa mendapatkannya lagi dengan mudah."
"Hidup ini memang tak menawarkan apa-apa, kecuali masalah. Berjuta tanya tak terjawab. Tersesat di antara milyaran benda angkasa," balas Ryan sambil menatap bulan sabit yang terhalang awan tipis.
"Tapi kita sudah terlanjur hidup, Neng... Meski kita tak meminta untuk diberi hidup. Paling tidak, Aa tidak ingat bahwa dahulu pernah diberi pilihan untuk hidup atau tidak. Tidak pernah diberi pilihan dari keluarga mana Aa dilahirkan. Tiba-tiba Aa sudah hadir di dunia ini." Ryan melanjutkan bicara sambil memejamkan mata sejenak.
"Kadang Neng mah terpikir ingin mengakhiri hidup ini A.... Neng mah merasa udah ngga kuat lagi menjalani hidup ini," ucap Mei dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kalau dengan mati, semua masalah terselesaikan, Aa mungkin sudah lebih dulu memilih mati, Neng. Masalahnya, setelah mati justru kita akan dihadapkan pada urusan yang jauh lebih rumit," ucap Ryan setelah meminum sebotol yoghurt ditangannya dengan sedotan.
Air mata Mei mulai jatuh perlahan. Ia tak mampu lagi membendung emosi yang membuncah di dalam hatinya. Ia tak malu lagi membuang egonya di hadapan pria yang laun mulai mengisi tempat istimewa di hatinya itu. Ia tak sungkan lagi untuk berkeluh kesah dihadapan pria yang selalu memberi perlakuan istimewa kepadanya.
Melihat Mei menangis, Ryan menggenggam tangan Mei dengan erat. Ia seolah ingin berkata bahwa ada aku di sampingmu yang akan mengerti tangismu. Ada aku tempat curahan hatimu. Ada aku yang merasakan deritamu. Ada aku yang akan membasuh perihmu. Keluarkan saja semuanya malam ini.