Hari Sabtu, tanggal 31 Oktober 2015, saya beserta seorang teman sesama traveler, berangkat menuju tempat wisata yang terbilang baru, Sanghyang Heuleut, di daerah Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Tidak banyak persiapan yang kami lakukan, mengingat jarak yang tidak terlalu jauh, dan bisa pulang pada siang hari, dengan menggunakan sepeda motor. Seminggu sebelumnya kami menemukan sebuah artikel yang membahas tempat wisata yang konon keindahannya menyaingi pantai di Belitung, seperti yang kita lihat di film Laskar Pelangi. Setelah melakukan blog walking secukupnya, kami sepakat untuk berangkat dari Bandung jam 06:00 pagi, agar bisa tiba kembali di Bandung pada sore harinya.
Namun, ternyata karena sesuatu hal, kami baru bisa berangkat dari kota Bandung menuju lokasi sekitar jam 06:30 pagi. Motor dilaju dengan kecepatan sedang, menuju arah Cimahi, kemudian Padalarang. Patokan untuk ke Sanghyang Heuleut adalah waduk Saguling. Orang Bandung dan sekitarnya pasti sudah tidak asing dengan danau buatan ini :)
Jika Anda sudah menemukan gapura 'PLTA Saguling' berarti perjalanan Anda yang sesungguhnya sudah hampir dimulai. Dari gapura tersebut Anda lurus saja ke arah 'Power House' milik Indonesia Power, anak perusahaan dari PLN. Tidak sampai 10 menit Anda sudah sampai... di tempat parkir!
Ya, sebelum melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, Anda harus memarkirkan kendaraan, baik motor maupun mobil, di halaman parkir yang terbilang seadanya tersebut. Waktu itu tempat parkir dijaga oleh dua orang bapak paruh baya yang ramah, yang berjanji akan menjaga kendaraan kami sampai kami kembali ke tempat tersebut :)
Daaann.. tepat jam 08:15 perjalanan yang sesungguhnya pun dimulai..
Tidak ada papan petunjuk ke arah Sanghyang Heuleut, namun kami berusaha maklum mengingat tempat wisata ini belum begitu populer. Selain bekal informasi yang kami dapatkan dari internet, secara kebetulan di tempat parkir kami bertemu dengan dua pasang ABG yang juga mempunyai tujuan yang sama.
Sebetulnya tadinya kami ingin mengandalkan google map dari tempat parkir menuju lokasi, namun sayang, ternyata paman gugel pun belum sempat menjamah lokasi ini. Instruksi yang kami andalkan untuk menuju lokasi adalah 'jika sudah bertemu dengan sungai, ikuti aliran sungai tersebut sampai tiba di lokasi'. Namun, karena buta arah, akhirnya kami berdua sepakat untuk mengikuti dua pasang ABG yang kami temui di tempat parkir sebelumnya.
Ya.. namanya juga ABG yang sedang kasmaran, tingkah mereka pun sedikit mengganggu kecepatan kami dalam berjalan kaki. Kami yang tadinya ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan, harus mengalah mengikuti kecepatan para ABG tersebut berjalan kaki. *SKIP*
Sekitar sepuluh menit berjalan kaki, kami menemukan petunjuk jalan ke dua, yaitu 'Sanghyang Poek', sebuah goa purbakala yang gelap (bahasa Sunda: poek). Kami tidak masuk ke dalam goa ini, namun menelusuri dan sedikit menyebrang sungai untuk melanjutkan perjalanan. Melepas alas kaki adalah cara terbaik agar tidak terpeleset saat menyebrangi sungai yang dangkal dan berbatu ini.
Beberapa menit kemudian kami bertemu dengan aliran sungai yang lain. Di sini kami bertemu dengan seorang guide yang sedang memandu pasangan (yang sepertinya) suami-istri yang kami yakini berasal dari luar kota. Kami yang sudah 'jengkel' dengan kelakuan ABG yang centil, memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan, dan memberanikan diri untuk bertanya arah kepada sang pemandu.
Namun, di luar dugaan kami, sang pemandu tidak bersedia memberi petunjuk arah, malah menawarkan jasa untuk memandu sampai tempat tujuan, yaitu Rp 15.000 per orang. Dasar kami yang doyan gratisan, tidak rela mengeluarkan uang sepeser pun untuk tawaran tersebut. Sebagai seorang budget traveler (baca: traveler kere), ide pun brilian pun muncul. Kami berdua beristirahat sejenak, menunggu sang pemandu beberapa puluh meter berjalan di depan kami, dan kami 'mengikuti' dari arah belakang.. Hehe.
Saya yang tidak terbiasa mendaki gunung, cukup kaget dan merasa kelelahan dengan jalur yang kami lewati ini. Ternyata selain harus melewati hutan, juga harus berkali-kali memanjat batuan besar, dan menyebrang sungai, walaupun tidak dalam.
Tepat jam 10 pagi kami tiba di lokasi. Tidak ada loket penjualan karcis atau dengan kata lain gratis untuk masuk ke lokasi. Usaha kami berjalan kaki sekitar dua jam, akhirnya terbayar. Kami melihat aliran sungai yang terbendung oleh batuan alam besar, sehingga tampak seperti kolam raksasa. Nampak seperti pemandangan yang tidak biasa saya temui di daerah Bandung yang jauh dari pantai. Kabar yang mengatakan bahwa kepopuleran Sanghyang Heuleut akan menandingi Tebing Keraton memang tidak mengada-ada.
Namun, ternyata bukan kami orang pertama yang tiba di lokasi, sudah ada sekitar 20 orangan yang menikmati keindahan lokasi tersebut, baik yang berenang maupun yang hanya menikmati keindahan alam di sana.
Saya yang sudah berencana ingin berenang, akhirnya mengurungkan niat, mengingat rasa lelah dan terik matahari yang sudah terlalu menyengat. Akhirnya saya memutuskan hanya duduk di atas bebatuan di pinggir kolam dengan sesekali mengambil foto dari kamera hape dan kamera saku yang sudah saya persiapkan sebelumnya.
Hanya sekitar 45 menit waktu yang kami habiskan di Sanghyang Heuleut. Meningat target waktu yang kami kejar dan jalur perjalanan pulang yang harus kami tempuh lagi, kami pun sepakat tidak berlama-lama di lokasi.
Di perjalanan pulang, yang jalurnya sama persis ketika kami pulang, kami berpapasan dengan lebih banyak orang yang akan ke Sanghyang Heuleut. "Berapa kilo (meter) lagi, Kang?", "Masih jauh, Kang?" adalah pertanyaan-pertanyaan yang kerap terlontar dari muka lelah mereka. Kami hanya bisa menyemangati dan menjawab bahwa lokasi sudah tidak terlalu jauh, padahal.. Hehe..
Setelah perjalanan pulang yang memakan waktu sekitar satu setengah jam, atau setengah jam lebih cepat dari perjalanan pergi, kami tiba di tempat parkir ketika tengah hari. Di tempat parkir ternyata sudah lebih banyak terparkir kendaraan, dan banyak pula yang baru tiba dan baru akan menuju lokasi. Sayup-sayup terdengar bapak penjaga parkir berpesan kepada wisatawan yang baru sampai agar sebisa mungkin sudah kembali ke tempat parkir sebelum jam 5 sore, karena rawan hujan.
Setelah membayar ongkos parkir se-rela-nya, kami pun berpamitan pulang kepada bapak penjaga parkir.