Lihat ke Halaman Asli

Kopassus, GAM, dan Kebencian Itu

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Kopassus dan GAM adalah dua pihak yang dahulunya pernah berseteru panas di Aceh. Kali ini, GAM menjadi salah satu pihak yang diundang ke peringatan HUT ke-63 Kopassus. Menurut Danjen Kopassus, Doni Monardo, prajurit TNI selaiknya tetap jantan dalam membangun persahabatan dengan siapapun, termasuk dengan pihak yang pernah bertikai dengan kesatuan Kopassus. Bagi Doni, masa lalu biarlah masa lalu.

“Hari ini agak berbeda, kami mengundang pihak yang pernah berseteru dengan Kopassus. Tidak ada dendam bagi pihak yang pernah bertikai, ” ungkap Doni dalam sambutannya, sebagaimana dilaporkan oleh banyak media.

Tentu saja kita perlu menyambut positif gebrakan Kopassus mengundang pihak yang dahulunya pernah saling memusuhi satu sama lain. Kita setuju, karena kita ingin agar Kopassus menjadi lebih humanis dengan rakyat. Pendekatan humanis adalah "senjata" paling ampuh untuk memadamkan segala bentuk gerakan, yang oleh negara disebut sebagai gerakan pengacau.

Pertemuan pihak yang dahulunya pernah bertikai secara panas, terkadang juga brutal, juga memberi renungan kepada kita semua bahwa tidak ada yang namanya musuh abadi, dan juga tidak ada kebencian abadi. Semuanya bisa berubah ketika tiba waktunya. Untuk itu, alangkah baiknya dimusim damai ini semua pihak yang bermaksud untuk kembali menggalang kebencian dan permusuhan di Aceh, dengan alasan apapun,  untuk berpikir ulang. Kenapa? Alangkah pilunya rakyat yang dulunya jadi korban tapi sampai saat ini belum juga ada penegakan hukum atau langkah-langkah KKR secara kongkrit. Rakyat sebatas menjadi korban dari konflik dan sampai saat ini nasib mereka masih terus berkubang di persoalan keadilan dan kebenaran yang tidak jelas-jelas juga.

Masih ingat Rumoh Geudong? Inilah salah satu Pos Sattis -Kopassus yang terletak di desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh ini, memiliki kisah dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Berbagai kisah kasus pelanggaran HAM terungkap di Rumoh Geudong khususnya khususnya menjelang kabar akan dicabutnya  Daerah Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 oleh jendral Wiranto.

Ketika tim Komnas HAM  yang dipimpin Baharuddin Lopa ke Aceh, saya berkesempatan mengunjungi Rumoh Geudong (1998). Ketika saya tiba di sana, Rumoh Geudong sedang terbakar. Api pelan-pelan melahap rumah yang menjadi saksi bisu itu. Menurut masyarakat, rumah itu baru saja terbakar, sekitar 30 menit usai rombongan Baharuddin Lopa berlalu. Saya yang sedikit telat tiba hanya menyaksikan tanah galian yang menurut masyarakat ditemukan jari, rambut, tulang manusia. Saya juga melihat bercak darah di pohon, di dinding yang belum terbakar, dan beberapa balok kayu yang sepertinya bisa dipakai untuk memukul.

Saat itu hanya satu yang terbayang di kepala saya. Betapa konflik penuh dengan kebencian, dan sudah pasti kebencian juga menjadi milik korban dan keluarganya, juga masyarakat. Kebencian ini juga yang akhirnya terekpresi dengan dibakarnya Rumoh Geudong oleh masyarakat. Saking bencinya, mereka lupa bahwa betapa pentingnya Rumoh Geudong sebagai bukti sejarah. Tapi, begitulah yang namanya kebencian. Pertanyaannya, bisakah seluruh kisah pahit itu bisa hilang dengan damai dan dengan membaiknya hubungan diantara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, saling mengintip, saling menjadi target, dan saling mematikan?

Tentu saja damai akan disyukuri. Tentu saja membaiknya hubungan akan disambut baik. Tentu saja kebencian sudah sepatutnya diakhiri. Sebab, hidup dalam kebencian hanya akan membuat batin tersiksa dan berpotensi memproduksi perlawanan-perlawanan baru dikemudian hari. Hanya saja sangat penting untuk disadari bahwa damai tidak boleh menafikan penegakan hukum dan pengungkapan kebenaran. Jika dua hal ini diabaikan maka kegagalan-kegagalan pembangunan dan kisah masa lalu akan menjadi "amunisi" paling tajam untuk kembali memproduksi konflik.

Kopassus sudah sepatutnya humanis dengan rakyat. Prajurit GAM sudah sewajarnya kembali menjadi rakyat. Tapi penyelenggara negara tidak sepatutnya mengubur semua yang pernah terjadi tanpa memberi keadilan dan kebenaran atas apa yang pernah terjadi. Masa lalu yang pahit sewajarnya diganti dengan masa depan yang lebih baik. Tapi, kejahatan tidak boleh dilupakan, kebenaran tidak boleh dikubur dalam peti ingatan. Semuanya wajib diselesaikan dengan pendekatan yang disepakati, dan semua pihak wajib menghormati dan memberi jalan bagi perwujudannya. Tidak ada yang perlu ditakuti dengan apa yang pernah terjadi sebab ianya sudah terjadi. Masa depanlah yang perlu ditakuti khususnya jika beban masa lalu tidak diselesaikan.Beban ini pada saatnya akan menjadi duri yang sangat mungkin berbahaya bagi masa depan.

Kita berharap, elit GAM khususnya yang saat ini berada diposisi Pemerintahan Aceh yang hadir ke Kopassus tidak sekedar hadir sebagai wujud penghormatan terhadap HUT Kopassus. Tapi, juga bersedia membangun hubungan yang lebih serius untuk membangun saling pengertian dan pemahaman untuk menyelesaikan problem-problem di masa lalu, khususnya terhadap tindakan mereka terhadap rakyat yang tidak berdosa di masa konflik dahulu. Inilah makna jantan yang paling sejati. []

Dirgahayu Kopassus ke-63

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline