Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Bapak dalam keadaan sehat dan tenang.
Salam pembuka itu sengaja saya buat begitu (sehat dan tenang) agar Bapak tidak terpengaruh dengan tulisan saya ini. Beruntung jika Bapak sosok pemimpin yang baru terpengaruh jika melihat siapa yang menulis.
Jika Bapak sosok pemimpin yang peduli pada semua rakyat maka saya kuatir Bapak terpengaruh dalam keadaan emosional. Pemahaman sederhana saya, emosionalitas dalam membuat keputusan atau minimal dalam melahirkan kebijasanaan itu tidak baik.
Bapak, ini soal Pemilihan Kepala Daerah, Pilkada atau Pemilukada Aceh. Jadi, ini sesuatu banget buat saya. Saya tidak berani mengklaim apa yang saya uraikan berikut juga menjadi sesuatu banget bagi anggota masyarakat Aceh lainnya.
Alhamdulillah jika apa yang saya uraikan ini menjadi mewakili sebahagian besar warga di Aceh khususnya dan warga Indonesia lainnya. Tapi manalah mungkin semua orang punya pandangan yang sama? Pastilah berbeda-beda. Oleh karena itulah, saya memilih untuk mewakili diri sendiri guna menyampaikan apa yang saya rasakan sebagai Ureung Aceh yang adalah warga bangsa Indonesia.
Begini Bapak, ini tentang situasi dan kondisi Aceh di musim Pilkada Aceh 2011. Saya yakin Bapak sudah menerima masukan dari berbagai pihak. Selama ini, semua pihak di Jakarta sudah pernah datang ke Aceh dan saya yakin sudah memberi informasi kepada Bapak. Terakhir, Anas dan Ibas juga sudah ke Aceh dan saya yakin mereka juga datang untuk mencermati situasi dan kondisi sosial-politik di Aceh musim Pilkada Aceh 2011 ini, dan pasti sudah melaporkannya kepada Bapak.
Saya juga tahu, baru-baru ini Sesmenko juga sudah ke Aceh dan sudah bertemu dengan berbagai pihak. Sayang dia tidak bertemu dengan saya. Tapi baguslah. Jadi saya bisa bebas menyampaikan apa yang saya rasakan.
Bapak, saya langsung saja mengatakan apa yang ingin saya katakan dan saya tidak ingin menunda lagi apalagi menyembunyikan perasaan saya sebagai warga.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada atau Pemilukada) memang penting. Daerah memang harus ada pemimpinnya. Untuk itulah pemimpin yang sah dan didukung oleh sebanyak mungkin rakyat menjadi penting dan itu menurut ketentuan harus di pilih melalui Pilkada. Izinkan saya memakai sebutan Pilkada saja karena sebutan Pemilukada belum begitu akrab di telinga saya.
Buat saya, Pilkada Aceh 2011 ini tidak sehat lagi. Saya mungkin tidak arif jika mengatakan MK lah yang menjadi pemicu lahirnya keadaan politik yang tidak sehat di Aceh.
Buat saya, ukuran demokrasi yang sehat itu sederhana saja yakni kala demokrasi itu memiliki nilai-nilai budaya Indonesia. Minimal ia harus ditandai oleh nilai bersih, santun, dan cerdas.
Buat saya, MK memang sudah bertugas di atas landasan yang benar, yakni landasan konstitusi. Tapi sebuah keputusan yang meski konstitusional namun manakala mengabaikan keunikan daerah dan iklim kekinian sosial politik daerah maka bisa saja keputusan itu akan menimbulkan gejolak.
Tentu saja MK tidak perlu disalahkan dan sudah semestinya semua pihak menghormati keputusan MK. Hanya saja, sebagai penyelenggara pemerintahan yang bertugas menjalankan amanat Undang-Undang kearifan Bapak sangat diperlukan minimal menemukan cara dan waktu yang tepat untuk menjalankan keputusan atau ketetapan MK terkait Pilkada di Aceh. Benar adanya bahwa semua kita harus menghormati rule of law tapi pada saat yang sama kita juga penting untuk tidak mengabaikan begitu saja rule of commitment sesama warga bangsa dalam mengelola Indonesia.
Memang benar jika saya juga orang yang secara paradigmatik lebih setuju manakala mekanisme rekruetmen kepemimpinan dilakukan melalui partai politik. Karena itu, keberanian pemerintah untuk mengizinkan kehadiran partai politik lokal di Aceh menjadi suatu lompatan politik yang sangat cerdas dalam penilaian saya.
Memang, ini pikiran yang debatable sifatnya apalagi di tengah banyaknya kekecewaan warga bangsa atas perilaku politikus di berbagai partai politik. Buat saya ini satu bab lain yang harus diseriusi. Tapi bukan untuk menjadi alat legitimasi bagi hilangnya peran partai politik. Saya juga senang jika semua warga bangsa memiliki banyak jalur untuk menjadi pemimpin negeri. Tapi, saya lebih bahagia manakala semua warga bangsa yang ingin menjadi pemimpin melalui mekanisme partai politik. Untuk itu, menjadi tugas semua warga bangsa mengkritisi terus menerus para politikus dan partai politik sehingga lebih cepat lagi terjadi perbaikan kinerja dan iklim politik di negeri tercinta ini, Indonesia, rumah kita sendiri.
Kembali kepada Pilkada Aceh 2011. Saya merasakan Pilkada Aceh 2011 tidak kondusif untuk dijalankan sesegera mungkin sebagaimana jadwal yang sudah pernah ditetapkan, diubah dan kini ditetapkan lagi oleh KIP Aceh.
Buat saya Pilkada itu pesta demokrasi karena pada saat itulah warga Aceh yang sudah cukup umur sebagai pemilih menggunakan hak politikknya untuk memilih pemimpin yang dipercayainya dapat segera mengantarkannya ke gerbang kemajuan dan kesejahteraan atau minimal memiliki kemampuan untuk membangun landasan yang bisa menjadi sarana mempercepat meraih kemajuan.
Untuk itulah, semua kandidat berlomba untuk menampilkan sisi keagungan insaninya sebagai bakal calon dan sebagai calon pemimpin. Tidak menjadi pesta demokrasi yang berbudaya bersih, santun dan cerdas manakala pada musim Pilkada para pihak justru tampil untuk saling menjelekkan saingan melalui macam triks politik kotor.
Terus terang, sampai saat ini nuansa politik kotor yang penuh jebakan politik untuk saling menjatuhkan pesaing menjadi sangat dominan. Bagi orang inilah fakta politik yang tidak mungkin dielakkan. Tapi, bagi saya ini fakta politik yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwa-jiwa politik kaum muda Indonesia saat ini yang memimpikan Indonesia yang sebenar-benarnya Indonesia: bersih, santun dan cerdas.
Buat saya, memaksakan penyelenggaraan Pilkada Aceh sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan KIP Aceh hanya akan menjadikan Pilkada Aceh 2011 menjadi pesta pemilihan pemimpin di zaman purba yang diwarnai upacara dengan tumbal-tumbalnya.
Saya mungkin salah. Tapi, sebelum Pilkada Aceh 2011 di gelar saya merasa sudah ada peristiwa-peristiwa yang bernuansa tumbal. Saya tidak bisa membayangkan tumbal politik apa lagi yang akan muncul manakala Pilkada Aceh 2011 dipaksakan tepat waktu.
Sungguh, saya orang pertama yang sangat senang jika Pilkada Aceh segera dilaksanakan sesuai waktunya karena saya segera bisa berpartisipasi aktif untuk memilih kandidat yang sudah saya intip rekam jejaknya sejak lama. Tapi, saya jadi tidak bahagia manakala menjadi pemilih di pesta yang berbau purba ini. Meskipun kandidat saya menang saya tidak menjadi warga yang bangga karena kemenangan itu diperoleh ditengah pesta yang keras, bau busuk politik, dan di tengah amarah rakyat.
Saya tentu tidak harus mengusulkan apa saja yang perlu Bapak lakukan untuk mensikapi keadaan politik di Aceh saat ini. Saya yakin bapak punya tim politik yang bisa memahami curhat saya ini.
Sekali lagi saya ingin mengatakan "Tolong Jangan Indahkan Surat Saya" ini karena bisa saja saya salah dalam merasa. Artinya, saya ingin apapun keputusan atau kebijaksanaan Bapak itu muncul dari pikiran dan hati yang sehat dan tenang karena hanya dengan begitu kita semua bisa menyumbang bagi terbangunnya budaya demokrasi yang bersih, santun dan cerdas.
Saleum peACEHeart
Risman A Rachman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H