"Kala saatnya tiba dan berkenan. Cari kuburan tanpa tanda nisan...."
Seperti dulu sekali. Aku kembali berdiri di pintu masuk ini. Beberapa orang baru saja meninggalkan pemakamam ini. Di sini, umumnya dikubur korban tsunami. Dulu sekali, para korban konflik terbaring berbalut bumi.
Meski sering aku ke mari amanah kakakku itu belum juga bisa kulakukan. Dia sendiri sudah terkubur di sini. Manyatnya ditemukan di himpitan pohon kenari, dua hari usai tsunami melanda Aceh, negeri serambi.
Sejak kakakku tiada. Aku sangat bingung untuk mencari dimana, persisnya kuburan ibu tercinta. Dulu, aku masih kecil adanya. Konflik membuat gerak lasak semua anak-anak terbatas gerak. Aku juga. Tidak mungkinlah aku ke kuburan kapan saja. Sudah pasti tidak diizinkan oleh keluarga.
Usai tsunamilah aku pertama ke sini. Tentu karena mengikuti acara pemakaman kakakku, Azmi. Lalu, aku ingin tahu juga dimana persisnya letak kuburan ibu kami, Lilis Suriani. Sayangnya, aku hanya bisa berdiri dan berdiri di sini, di gerbang pintu ini. Kadang juga duduk dipinggir pusara kakakku usai lelah berdiri. Sambil melirik mencari isyarat dihati.
Hatiku tak tahu. Orang-orang juga tak tahu. Dan akupun, seperti dulu-dulu, pergi berlalu, dan kembali lagi, ke sini, di perkuburan ini seperti dulu. Mencari tahu. Dengan ingatan dan imajinasiku. Berharap, bisa ku dapati jejak kuburan ibu.
"Kala saatnya tiba dan berkenan. Cari kuburan tanpa tanda nisan...."
Aku lagi dan lagi teringat lagi pesan itu lagi. Dan terus saja begitu, dari waktu ke waktu. Tapi, hingga konflik telah lama berlalu, aku belum juga tahu, dimana ibu dikuburkan usai tertembak peluru serdadu yang galau karena melihat orang kampung yang dikiranya hantu. Dan ibuku, kabarnya, jadi sasaran peluru hari itu, hari kampungku diserbu akibat isu kalau ibuku menyembunyikan pemberontak berminggu-minggu.
Aku memang tidak tahu karena usiaku yang masih menyusu. Dari kakak dan saudara sepupulah kemudian aku tahu kalau Aceh dulu penuh dengan bau mesiu. Juga kisah ibu. Ibuku, kini dikubur di situ, dikuburan tanpa tanda yang bisa membuatku segera tahu. Begitu kata kakakku dulu.
Kini, aku putuskan untuk tidak mencari lagi karena aku merasa kuburan ibu ada di tanah suci hati ini. Dan, kakakkulah yang telah menguburi dan menjadikan ingatan ini sebagai batu nisan Ibu kami. Ku lihat kupu-kupu terbang di atas kepalaku. Sepertinya itu isyarat ibu yang memberi restu.
"Ibu, tak akan ku ubah kampung hatiku, tempat engkau berteduh, menjadi negeri penuh mesiu. Kan kusiram selalu batu nisan ingatanku dengan mantra kasihmu, kupu-kupu bersayap cinta."