Melalui Kompas online diketahui bahwa malam ini Forum Solidaritas Kebebasan Beragama (FSKB) akan menggelar aksi keprihatinan 1000 lilin, menuntut Presiden mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang dinilai belum menjamin kebebasan beragama.
Aksi yang akan dimulai pada pukul 19.00 WIB di bundaran HI dan dihadiri sekitar 1500 orang dari elemen mahasiswa, organisasi keagamaan, dan LSM juga akan menuntut ketegasan Polisi menyelesaikan masalah kekerasan terhadap umat beragama, khususnya insiden penusukan penetua Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tempo hari.
Tentu tidak ada yang bisa melarang aksi ini, apalagi jika dilakukan dengan cara-cara yang damai dan mengikuti aturan dan prosedur yang berlaku tentang gelar acara di keramaian.
Lagi pula, apa yang akan diusung oleh pihak penyelenggara aksi adalah juga suara yang kini sedang berkembang sebagaimana bisa dibaca di media.
Sejak awal kejadian Insiden HKBP media sudah menyuarakan pandangan, tuntutan, bahkan kecaman ragam pihak agar insiden HKBP segera diusut dan diungkap. Hasilnya, 10 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Muharli Barda, Ketua DPW FPI Bekasi yang diduga sebagai pihak yang memprovokasi.
Bukan hanya itu, media juga telah menjadi corong keras dan lantang bagi pihak-pihak yang menuntut pembatalan, pencabutan dan revisi SKB tiga menteri.
Pemerintah pasti sudah mengetahui bahkan sudah meresfon sejauh yang mungkin untuk direspon untuk kemudian dicermati. Pihak legislatif pun sudah mendengar dan bahkan ikut menyuarakan tuntutan. Termasuk juga sosok ketua Mahkamah Konstitusi dan pihak MUI.
Jika tidak ada sesuatu yang beda, cukup krusial dan signifikan untuk disuarakan secara aksi mirip demo maka untuk apa perlu melakukan aksi prihatin 1000 lilin?
Saya yakin, mereka yang tergabung dalam forum solidaritas kebebasan agama beragama adalah sosok-sosok intelektual yang bukan hanya sudah matang dalam berpikir tapi pemikirannya juga sudah mampu mengendalikan hati sehingga tidak akan melakukan satu tindakan yang bisa memancing reaksi dari mereka yang kerap disebut kaum beragama secara tekstual.
Jika memang semua prihatin dengan kasus kekerasan agama dan mau mengakiri prilaku main hakim sendiri, main tafsir sendiri, termasuk main politik dengan dan atas nama agama maka sangat penting semua pihak untuk menahan diri dari semua aksi dan ulasan yang bisa memancing reaksi balik yang kemudian justru kembali memanaskan suasana.
Terus terang saya mencium aroma amarah yang masih belum reda disemua pihak. Penangkapan dan pengusutan yang sedang dilakukan oleh pihak kepolisian juga masih kontroversi ditingkat publik, meski tidak terbaca di media umum. Bagi mereka yang kerap memantau keadaan dari media-media komunitas maka aroma kemarahan masih sangat terasa.