Lihat ke Halaman Asli

Kabut Menutup Langit (Surat untuk Jimmo)

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jim, semoga kau baik-baik saja. Dan kuharap kau sedang tidak mabuk kala membaca surat ini. Ini kisah kemabukanku dan akan tidak berarti jika kau juga mabuk saat membacanya. Oh ya, soal Paris aku sudah mendengarnya. Kisah yang seru kawan. Kuharap kau tidak melangkah kesana dengan kakimu. Terlalu jauh, apalagi jika hanya kau kayuh dengan dua tanganmu. Melangkahlah dengan hati, dan disanalah semua impianmu ada. Khatulistiwa itu dekat Jim. Jaraknya hanya tiga gelas minuman. Tapi tidak dengan impianku. Dia terus menjauh dan menjauh. Jim, bertahun-tahun aku mabuk tapi kekasihku tak bisa kurengkuh walau sekedar menyentuh jemarinya. Kau tahu Jim, jemarinya yang dulu ku lulur dengan air mata puisi cinta tak bisa lagi kurengkuh. Dan, disetiap pagi, siang, malam, juga subuh selalu kuberharap ada ketukan pintu dari salah satu tangannya yang lembut. Tapi, tidak pernah ada lagi Jim. Dia lenyap bagai kisah Rahwana menculik Shinta. Dan, kini aku betul-betul merana di setiap lorong waktu. Jim, jika kau mabuk sambil duduk aku justru mabuk sambil menelusuri semua gang-gang yang ada di kota ku. Tidak ada satu pun lorong yang tidak kumasuki dan tidak ada satu pun pintu waktu yang tidak ku sapa dengan pertanyaan ini: "Adakah kekasihku disini? kembalikan dia padaku. Aku memang bukan arjuna, Bima, atau Rama. Jadi untuk apa kau tempatkan aku sebagai musuhmu dan tega menculik kekasihku. Kembalikan." Aku sedih Jim. Tidak ada jawaban. Semua bungkam. Dan, akhirnya aku juga bungkam. Bungkam seribu bahasa. Aku bisu bahkan untuk mengucapkan nama kekasihku sendiri. Justru disinilah aku menjadi sangat mabuk dan itu justru dengan anggur yang mengalir dari air mataku Jim. Kali ini, anggur air mata itu tidak agi kuteguk dengan mangkuk pipiku yang kemudian masuk membasahi rongga tenggorokanku. Kali ini air mata itu langsung membanjiri jiwaku. Dan ini membuatku semakin sunyi dan sunyi. Jim, kekasihku ada dalam kabar setiap pagi, yang kubaca di koran-koran bekas yang kupungut dijalanan sepi malam hari. Dia juga ku dengar di sela-sela tegukan kopi diantara tawa derai mereka yang sudah mengambil keuntungan kenikmatan dari kekasihku. Sungguh, tawanya memerahkan pipiku, menggepalkan tanganku, dan membuat hatiku semakin hanjur. Tapi semakin aku marah semakin aku tak bisa mengangkat satu tanganpun untuk menampar wajah-wajah mereka yang sudah memperkosa kekasihku, dari waktu ke waktu. Jim, kini aku terkapar di jalanan waktu. Tubuhku utuh tapi otakku tercabik, hatiku robek, dan hidungku tiada henti-henti mengeluarkan darah kepedihan. Tapi, entah kenapa tanganku begitu sejuk kala menyentuh bumi. Aku merasa sudah menyentuh kekasihku. Bukan hanya jemarinya tapi juga tubuhnya yang penuh luka. Kau tahu Jim. Aku bahagia karena masih mampu berucap "aku mencintaimu kekasihku, dan akan aku obati lukamu dengan puisi siang, malam, dan pagiku. Jangan risau lagi cinta karena dengan nyanyian rindu yang masih tersisa kan ku usir kabut yang menutup langit hatimu." Jim terimakasih ya. Dan, segeralah bakar jika sudah kau baca. Aku tak mau surat ini dibaca oleh gelombang karena aku tidak cukup kuat untuk menjadi pasir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline