Lihat ke Halaman Asli

Lelaki Pembakar Sampah

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_57057" align="alignleft" width="300" caption="Mengumpul Embun di Hati (Ft Google)"][/caption] Lelaki itu selalu terlihat sedang membakar sampah. Karena itulah, aku menyebutnya lelaki pembakar sampah. Sejauh ini, aku belum mendapat informasi  siapa nama lelaki yang kerap mencueki senyumku.  Dan itu pula yang mendorongku untuk tahu, dan akhirnya ku dekati, sore tadi. Sebelumnya, aku hanya tahu sebagaimana umumnya orang tahu, dia hanya sesosok lelaki gila. Penampilannya memang sosok umumnya orang gila kampung, yang tiada siapa lagi peduli. Bicara dan tertawa sendiri kabarnya menjadi bukti kalau dia memang lelaki gila. Begitulah adanya penilaian. Dan itu juga yang mendorongku untuk tahu, dengan mendekatinya, di sore bercahaya itu. Aneh memang, begitu kesan yang langsung menyergapku kala ia kusapa. Ia malah menghardik kala kutanya sedang melakukan apa. Katanya, "apa kau sudah gila?" Terakhir aku paham, kalau aku memang gila karena sudah ku tahu ia lelaki pembakar sampah dan sedang membakar sampah masih tetap ku tanya sedang melakukan apa. Ya jelas ia sedang membakar sampah. Jadi, jelas aku yang gila. Keanehan kembali terjadi, justru disaat aku tidak mau lagi dibilang gila oleh orang yang umum diketahui, gila. "Boleh saya tahu nama Abang? Perkenalkan, nama saya Risman." Jangankan menjawab pertanyaanku menerima uluran tanganku saja ia tidak mau, sampai akhirnya aku menarik karena sejumlah pengendara motor dan mobil mulai melihatkan dengan pandangan heran. Aku kembali fokus pada sosok yang sedang sibuk bicara sendiri. Aku tidak menangkap dengan jelas apa yang sedang dibicarakan. Yang pasti, dari gaya bicara dan intonasinya, ia sedang bicara dengan banyak orang. Jeda waktu bicaranya tidak lama, dan langsung bicara lagi, jeda sejenak dan bicara lagi. Kalau ia orang normal, pastilah ia sosok profesional atau pimpinan yang super sibuk, yang nyaris tidak punya waktu untuk diam. Dering hape-nya bisa datang silih berganti. Tapi, lelaki yang sedang di depanku jelas bukan sosok profesional. Mulai dari rambut sampai kakinya 100 persen beda dengan sosok profesional atau pemimpin. Persamaannya hanya satu, sama-sama bicara sendiri, kalau sedang berkomunikasi dengan kolega jarak jauhnya. Anehnya, secara teknologi justru "orang gila" ini lebih canggih dengan profesional dan pemimpin super sibuk sekalipun karena sudah tidak menggunakan hape sebagai media komunikasi. Dalam konteks teknologi komunikasi maka "orang gila" di hadapanku ini justru berubah menjadi "orang super" karena sudah menggunakan teknologi super canggih yang (mungkin) dengan memanfaatkan jaringan saraf otak, lalu dengan media gelombang udara bisa saling terhubung dengan koleganya. Kali, karena kesibukan komunikasi itu pula yang menyebabkan ia mengabaikanku. Ya, sudah. Aku akan mengulangi lagi pertanyaan dan mengabaikan imajinasi sekilasku tadi. "Bang, kasih tahu nama abang dong." Dan, saya sangat terkejut karena saya kembali dihardik dengan pernyataannya yang keras: "Kalau kamu masih bertanya aku siapa lebih bagus, pulang. Selesaikan dulu pertanyaan-pertanyaanmu, baru kembali kemari" sambil kembali berbicara sendiri dan tangannya mengipas api yang sedang membakar sampah, dipinggir jalan. Selera bertanya seketika, hilang. Dan, aku mulai mencuekinya, dan selebihnya melihat api yang sedang membakar tumpukan sampah. Aku jadi bertanya dalam hati. Untuk apa sampah-sampah ini dibakar. Kan ada petugas sampah yang setiap malam memungutnya untuk kemudian membuangnya ke tempat pembuangan sampah akhir. "Lagi-lagi kamu bertanya. Kamu itu tak lebih seperti, sampah." Darahku tiba-tiba naik, dan aku langsung berdiri dari jongkokku. Amarah menyergap kedirianku dan dalam hati, aku menyumpahi karena disebut sama dengan sampah. Untungnya aku sadar kalau sedang berhadapan dengan orang yang semakin ku yakini sebagai lelaki gila yang membakar sampah. "Jika kamu masih menggunakan hatimu untuk menyumpahi maka kamu lebih bagus aku bakar seperti sampah-sampah ini. Sekarang, pulang dan belajar dulu membasuh badanmu agar kamu mampu membasuh hatimu. Kalau hatimu sudah bersih baru pantas kamu ikut bersamaku, membakar sampah-sampah yang setiap hari terus menumpuk, dan membusuk mengotori bumi yang kalian sebut sebagai sajadah hati." Sesegera langkahku menjauh maka sesegera itu pula aku mencoba menarik kembali penilaian diriku atas nya dan dengan cepat memohon ampun kepada Sang Pencipta sambil mencoba menata hati dan pikiranku yang mudah sekali menganggap remeh dan rendah kepada makhluk-Nya. Selama ini, aku kerap mengganggap sesuatu yang beda dengan diriku, salah. Bahkan dengan motto "Tidak ada keselamatan di luar garis batas ini" kerap menjadikan ku sebagai penghardik. Hari ini, aku menerima kenyataan bahwa garis teks tidak menjelaskan konteks kalau hati belum menjadi garis awal dan garis akhir karena disanalah yang maha pembuat garis (batas) bersemanyam dan setiap saat menyentuh hati dengan "tangan"-nya yang penuh kelembutan. Di atas, langit mulai gelap, dan aku kembali bersiap mengumpul embun di langit hati yang akan basah, satu-satu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline