Lihat ke Halaman Asli

Pembelajaran Seks pada Remaja: Dalam Sains dan Agama

Diperbarui: 6 Desember 2023   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan seks merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan diluar nikah, penyakit menular seksual (PMS), depresi dan perasaan berdosa (Sarlito, 2004:182). Pendidikan seks lebih dari sekedar kajian tentang seksualitas manusia dalam pelajaran biologi atau sosial. Tujuan mempelajari seksualitas manusia adalah agar siswa atau anak mengetahui lebih banyak tentang seks dan tujuan pendidikan seks terhampar dibalik ini, termasuk mendorong semacam keterampilan atau kecakapan, sikap, kecenderungan, perilaku dan refleksi kritis terhadap pengalaman pribadi(J.Mark, 2006:10).

Banyak orang menganjurkan agar pendidikan anak, khususnya pendidikan seks, harus dimulai dalam dan dari keluarga. Umumnya disepakati pada masa remajalah pendidikan seks harus diperhatikan lagi. Sebab pada masa ini, pertumbuhan ciri-ciri seksual sekunder mulai berkembang pesat. Perkembangan psikologis dan emosional generasi muda mulai berubah. Di satu sisi remaja mengetahui bahwa dirinya bukan  lagi anak-anak, namun di sisi lain  mereka juga mengetahui bahwa dirinya belum sepenuhnya  dewasa (Johan, 1994: 10). Namun ada juga yang kurang setuju dengan pendidikan seks, karena khawatir dengan bantuan pendidikan seks, anak yang belum mengenal seks  dan ingin mencobanya karena penasaran akan mempelajarinya. 

Pemahaman mengenai kelebihan dan kekurangan pendidikan seks  pada dasarnya bergantung pada bagaimana seseorang (guru/orang tua) mendefinisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberian informasi tentang anatomi manusia dan proses reproduksi serta metode kontrasepsi (kontrasepsi), maka kekhawatiran tersebut beralasan. Alangkah baiknya jika pendidikan seks tidak hanya sekedar informasi seks, tetapi  juga mencakup transfer nilai dari guru kepada siswa. 

Dengan demikian, pendidikan seks tidak diberikan secara "telanjang" atau vulgar, melainkan "secara kontekstual" (Sarlito: 184). Orang tua dan guru hendaknya memperhatikan beberapa ciri penting seorang remaja. Remaja biasanya menderita kecemasan. Mereka ingin mendapatkan pengalaman. Mereka mencoba mencoba sesuatu yang dilakukan  orang dewasa. Selain itu, mereka  mulai mengeksplorasi lingkungan yang lebih luas, tidak hanya lingkungan keluarga saja. Berikut  pendidikan seksual untuk setiap periode perkembangan seksual individu: 1. Pra pubertas 2. Anak Perempuan: 11-12/12-13 tahun Anak perempuan mulai menyadari dirinya  sebagai perempuan. Dia membutuhkan pasangan untuk menjelaskan menstruasi (haid pertama). 

Oleh karena itu, orang tua hendaknya mendekati anak perempuannya dan mendampinginya tanpa mengajukan pertanyaan yang dapat mempermalukannya. a) Laki-laki : 12-13/13-14 tahun Laki-laki membutuhkan pendamping, terutama penjelasan yang informatif tentang mimpi basah. Dari hal ini, orangtua harus memahami masalah-masalah remaja, khususnya gejolak dorongan seksual pada masa ini mulai bergejolak secara drastis. Remaja putra mulai mencari-cari pemuasan syahwatnya melalui berbagai cara, seperti onani. Oleh karena itu, orang tua harus tetap menjaga agar remaja putra tidak melakukan hal-hal seperti itu. 3. Masa Remaja Awal: 13/14-17 tahun Pada masa ini, remaja mengalami emosi yang selalu tidak stabil. Mereka mencari identitas diri karena posisi mereka di dunia tidak jelas.

Sulit bagi orang tua menghadapi anak remaja  karena harus menyesuaikan diri dengan kekacauan yang ada. Banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan karir atau pekerjaannya sehingga tidak terlalu memperhatikan anak remajanya. Meski 9 hasrat seksual tersebut sangat menggebu-gebu saat ini, namun kecerobohan, keberanian mencoba dan kecerobohan masih mengakar kuat dalam jiwa  remaja awal tanpa menyadari dampak negatifnya. Oleh karena itu, orang tua harus berhati-hati untuk tidak menyublimkan hal-hal tersebut melalui hiburan, olah raga, pendidikan spiritual atau seni. 4. Masa Remaja Lanjut: 17-21 tahun Pada masa ini, remaja ingin menonjolkan dirinya. Ia menjadi seorang yang idealis, dan mempunyai cita-cita yang tinggi. Ia berusaha untuk menampakan identitasnya. Ia cenderung tidak tergantung lagi secara emosional terhadap orangtuanya. 

Dalam menghadapi remaja pada usia ini, orang tua dan  pendidik harus mencari kegiatan pendidikan yang dapat mengembangkan perkembangan pribadi remaja. Sikap yang baik dan bijaksana  adalah ketika orang tua membiarkan anaknya berdiskusi dan bernegosiasi serta bersedia mendengarkan pendapat, saran, ide bahkan kritik  remaja. Sikap yang salah adalah absolutisme. Banyak orang tua dan pendidik menganggap pendapat dan gagasan mereka sebagai satu-satunya yang  benar. Penggarap memutlakkan pendapat atau pemikirannya dan menganggap  dianggap benar (Sarlito: 34-41). 

Sebagai solusinya, pendidikan seks harus mampu memberikan solusi atas "krisis" pelecehan seksual di negeri ini. Pendidikan seks yang dialami anak di lingkungan sekolah masih jauh dari harapan dan keingintahuan siswa. Siswa mempunyai keinginan untuk melakukan hubungan seks secara alami karena alamiah dari Tuhan. Pendidikan seks yang digunakan saat ini hanya menawarkan pengenalan tentang alat kelamin, bentuk-bentuk pelanggaran, bahaya atau akibat. Dengan demikian, anak secara mandiri berusaha mencari informasi lain untuk memuaskan rasa penasarannya. Siswa lebih banyak belajar tentang seks dari teman, internet, dan televisi yang tidak memiliki nilai moral. Jawaban sederhana dari bahaya kelas sekolah adalah semua penyakit menular seksual (PMS) bisa diatasi dengan  kondom. 

Realitas pendidikan seks masih belum sebanding  dengan dunia sekolah dan anak-anak masa kini yang berada dalam genggaman internet dan televisi. Tujuan sebenarnya dari pendidikan seks, yaitu transmisi nilai-nilai budaya bangsa kepada siswa, belum sepenuhnya terwujud. Sebab, pelajaran biologi yang intensif pada alat kelamin dipisahkan dari agama yang intensif pada aturan dan nilai. Hal ini menimbulkan kesenjangan pemahaman siswa bahwa tujuan pendidikan seksualitas adalah untuk meningkatkan kesadaran, bukan  sekedar informasi. Agama yang membangkitkan kesadaran tanpa dukungan ilmu biologi  juga patut dicurigai. Oleh karena itu, diperlukan  perpaduan lebih lanjut antara agama dan biologi untuk mewujudkan nilai-nilai gender dalam kehidupan. 

Menggabungkan agama dan sains dalam pendidikan seks Agama dan sains  saling melengkapi dalam pendidikan seks. Sains biasanya tidak berharga, sehingga sains hanya memberikan informasi tentang seks. Ilmu pengetahuan mengenalkan segala sesuatu tentang alat kelamin, cara-cara menggunakan seks, proses reproduksi, bahaya seks menyimpang, dan juga cara mengatasinya. Sains tidak menjelaskan  etika, nilai dan standar yang mengikat seperti  agama. Agama merupakan seperangkat norma yang dapat mengikat pemeluknya dan memberikan ketenangan batin.

Bagaimana  aturan agama (transenden) firman Tuhan bisa diterapkan dengan baik? Tentu saja harus mendukung ilmu pengetahuan yang logis dan empiris. Dengan demikian, agama mampu menyentuh sifat logis dan empiris pikiran. Selain itu, sains juga  harus mampu menyentuh dimensi kesadaran  yang terdalam, sehingga dapat memberikan pengaruh positif terhadap perilaku peserta didik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline