Seusai mengikuti upacara peringatan hari guru 25 November hari ini. Saya bergegas membuka laptop kesayangan. Saya hanya ingin menulis. Sekedar meluapkan isi kepala yang sudah sangat penuh selama bertahun-tahun menjadi Guru. Saya lupakan sejenak tumpukan admnistrasi beserta tetek bengeknya. Untunglah para siswa juga gembira karena diliburkan dalam peringatan hari guru kali kali ini. Kalau menulis saat jam kerja hampir-hampir tak akan selesai. Sedikit-sedikit melayani siswa yang bolak-balik ijin masuk dan keluar, menanyakan barang hilang, orang tua yang hendak berkonsultasi sampai membuat dispensasi, atau mengurusi anak-anak yang katanya "bermasalah", dan tentunya kewajiban memberi bimbingan di kelas.
Hanya masih terusik lagu Hymne Guru yang selalu saja dinyanyikan saat peringatan hari Guru, ditambah lagi teringat pidato sambutan Pak (Mas) Nadiem Makarim sang Menteri muda Pendidikan kita.
Guru selalu dibilang mulia bahkan termulia. Begitu hebatnya Guru sampai namanya selalu lekat di sanubari, semua bakti dan pengabdiannya bagai prasasti yang terukir. Luar biasa! Guru bagai patriot? Mungkin julukan yang bagi saya hanya pantas untuk mereka yang berjuang dengan darah dan nyawa.
Untung saja lirik terakhir dalam lagu Hymne Guru ciptaan Sartono sudah diubah. Tidak ada lagi "Pahlawan tanpa tanda jasa", melainkan "Pembangun insan cendekia". Paling tidak rasa terusik saya agak berkurang. Bagi saya yang seorang guru, sebutan termulia terasa terlalu berlebihan. Begitupun lirik lagu Hymne Guru terasa terlalu puitis jika hanya ingin mengambarkan seorang sosok guru masa kini. Sekali lagi ini bagi saya. Saya kurang tahu bagaimana bagi anda.
Sangat banyak profesi lain yang menurut saya tak kalah mulia. Sebut saja petugas medis, polisi anti huru hara, pemadam kebakaran, para prajurit yang berjaga di perbatasan, atau bidan desa yang harus menempuh jalan yang sulit di pedalaman untuk membantu ibu yang akan melahirkan.
Tetapi Guru? Begitu kiranya mindset kita sejak Sekolah Dasar sudah dibentuk sehingga Guru lah yang seolah paling mulia sampai-sampai lagu Hymne Guru ini hampir sudah dihafal setiap insan yang pernah bersekolah di negara kita ini.
Pak Sartono sang pencipta lagu pun tidak salah. Kalau saja teringat perjuangan saya saat menjadi guru honorer. Lulus kuliah dengan gelar Sarjana Pendidikan. Saya sempat malu kalau harus bilang ke orang tua berapa rupiah gaji pertama saya.
Demi penghematan, ketika itu saya memilih naik sepeda angin sebagai transportasi ke sekolah (karena memang belum punya sepeda motor). Sisa honor saya pergunakan untuk membayar jasa pengasuh anak, yang menjaga anak saya ketika saya bekerja.
Waktu itu tahun 2004, masih bersyukur karena di sekolah lain gaji guru honorer lebih rendah daripada di sekolah swasta tempat saya bekerja. Pun masih bisa lega karena tunjangan daerah saat itu sangat membantu kehidupan kami para guru honorer.
Kehidupan saya jauh membaik setelah lolos tes CPNS. Meski saya bukanlah PNS minded, tetapi ya mau bagaimana? Untuk ukuran Yogyakarta sekolah swasta yang menjanjikan tidaklah banyak.
Saya pikir ini salah satu cara mencoba mengejar hidup yang lebih layak. Tahun berganti tahun, kehidupan pun menjadi semakin baik lagi setelah mendapatkan sertifikasi guru.