Lihat ke Halaman Asli

Risky Apriyandi P.N

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Perempuan dan Pendidikan di Awal Pergerakan Nasional

Diperbarui: 3 Juli 2024   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kontributor: Deren Anmerson Yanggi, Alhagi Arfiansyah, Risky Apriyandi Pandapotan Nainggolan dari Prodi Ilmu Sejarah, Universitas Padjadjaran.

Kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi, dengan hak dan kewajiban mereka berada di derajat yang lebih rendah dibandingkan kaum lelaki. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama dan masih saja terjadi, oleh karena itu kita dapat melihat gerakan dari kaum perempuan untuk memperjuangkan hak mereka di seluruh sejarah peradaban dunia. Di dalam sejarah Nusantara, terdapat sejumlah perempuan yang telah berjuang untuk perkembangan mengenai hak-hak kaum perempuan, baik secara terbuka maupun terselubung. 

Perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan di Indonesia sendiri dimulai saat diperkenalkannya kebijakan politik etis (politik balas budi) oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, yaitu mengenai perubahan kebijakan lama yang banyak mengeksploitasi rakyat pribumi secara berlebihan, dan akan diubah menjadi kebijakan yang bertujuan untuk mendidik rakyat Jawa dalam menghadapi kebudayaan modern dan cara berpikir serta teknologi orang Eropa dalam rangka pemenuhan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu, maka salah satu hal yang perlu untuk dilakukan adalah pembaharuan sektor pendidikan yang dipercayakan kepada J.H. Abendanon, kepala Departemen Pendidikan pemerintah kolonial sejak 1900.

Abendanon dikenal karena hubungannya dengan Kartini, seorang putri Bupati Jepara yang dianggap sebagai tonggak awal gerakan feminis di Indonesia. Dalam masa hidupnya yang singkat (lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 1904) Kartini telah menulis lusinan surat, dan melalui publikasi suratnya ia mengobarkan semangat di antara kaum muda Indonesia mengenai hak-hak kaum perempuan yang berujung pada timbulnya gerakan feminis di Indonesia dan negara-negara lain. Berkat perhatian yang besar oleh Abendanon, tulisan-tulisan berbahasa Belanda yang ditulis Kartini tersebut dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), dengan tujuan memberikan catatan penting untuk para perempuan muda kala itu.

Salah seorang pejuang perempuan setelah Kartini ialah Dewi Sartika, perempuan Sunda yang lahir pada 1 Desember 1884 dan wafat pada 11 September 1947. Pada tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan sekolah pertamanya yang kemudian dikenal sebagai Keutamaan Istri. Pada tahun 1912, ia telah mendirikan 9 sekolah yang berart secara persentase ia berhasil membangun 50 persen dari seluruh sekolah yang ada di tanah Sunda kala itu. Jauh sebelum gerakan feminis mengemuka dan terorganisasi di Indonesia, Dewi Sartika telah berbicara mengenai ketidakadilan pembagian upah buruh antara lelaki dan perempuan, dimana perempuan dibayar lebih sedikit ketimbang lelaki dalam pekerjaan yang sama beratnya mereka kerjakan.

Seiring berjalannya waktu pergerakan kaum perempuan Indonesia dalam menyuarakan aspirasi mereka semakin berevolusi, dari yang hanya sekedar bersifat personal dan non politis lama kelamaan meluas hingga bahkan mencakup aspek sosial dan hak-hak kaum perempuan yang paling mendasar, dan pendidikan adalah salah satunya. Perempuan Indonesia memahami bahwa mereka memikul suatu tanggung jawab yang besar dalam mendidik calon generasi masa depan. Mereka juga sadar bahwa pendidikan sangat dibutuhkan agar bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Karena itu beberapa organisasi pun didirikan untuk menunjang perjuangan mereka dalam memaksimalkan peran perempuan di masyarakat. Pertama ada organisasi Putri Mardika di Jakarta yang didirikan pada tahun 1912. Organisasi ini mendapat dukungan dari Budi Utomo, sebuah organisasi bagi para cendekiawan yang terdiri dari ahli hukum, birokrat pemerintahan yang peduli terhadap bidang pendidikan dan kebudayaan, dan orang-orang yang memiliki tujuan (secara diam-diam) untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Beberapa tujuan dari pendirian Putri Mardika adalah memberikan bantuan dana kepada kaum perempuan agar dapat bersekolah atau melanjutkan sekolahnya, memberikan saran dan informasi yang dibutuhkan kepada kaum perempuan, menumbuhkan rasa semangat dan rasa percaya diri kepada kaum perempuan, serta memberi kesempatan bagi kaum perempuan untuk ikut berperan dalam masyarakat. Di tahun berikutnya setelah organisasi ini berdiri, Putri Mardika mulai menerbitkan surat kabar mingguan yang membahas topik-topik seperti poligami, pernikahan dini, kawin paksa, dan juga feminisme.

Salah satu artikel yang membahas tentang pernikahan dini ditulis oleh seorang perempuan bernama 'Abdoerachman'. Lahir di tahun 1885, ia adalah seorang perempuan yang mengawali gerakan feminis di Indonesia dan telah memberikan seluruh hidupnya untuk meningkatkan martabat perempuan Indonesia. Dalam usahanya memperjuangkan hak perempuan ia menulis artikel-artikel yang membahas pernikahan dan pemberian pendidikan kepada kaum perempuan, dan dalam perjuangannya ia dibantu oleh suaminya. Suaminya memberikan kumpulan surat-surat Kartini ketika surat-surat itu baru diterbitkan. Di waktu yang hampir bersamaan dengan Putri Mardika, Keutamaan Istri juga telah mendirikan empat sekolah bagi kaum perempuan di tanah Sunda. Organisasi perempuan lain yang berada di Jawa adalah Pawijatan Wanito yang berdiri di Magelang pada tahun 1915, Wanito Hado di jepara pada tahun 1915, dan Wanito Susilo yang berdiri di Pemalang pada tahun 1918. Selain itu, pada 1913, dirintis sebuah terbitan independen bernama Wanito Sworo oleh Siti Soendari. Ia adalah perempuan dari keluarga bangsawan Jawa yang dikenal sebagai sosok yang cakap dan cerdas. Ia telah memberikan kontribusi terhadap gerakan feminis di Indonesia dengan menulis artikel yang membahas tentang meningkatnya kedudukan perempuan di Indonesia. Ia mengkritik poligami serta menekankan pentingnya pendidikan serta emansipasi wanita demi kemajuan dan kepentingan nasional, yang dapat dilihat dari judul artikelnya, "Rakyat Jawa tidak akan maju jika kaum perempuannya dibiarkan bodoh."

Di tahun-tahun berikutnya, berbagai macam organisasi perempuan bermunculan, seperti Putri Budi Sedjati di Surabaya, yang didukung oleh lingkaran nasionalis di kalangan kelompok studi pimpinan Dr. Soetomo. Organisasi ini berhasil mendirikan beberapa sekolah dan sekolah berasrama. Di Sumatra Barat, Keradjinan Amai Setia berdiri pada tahun 1914 dengan misi meningkatkan kedudukan perempuan dengan cara memberikan pelajaran dan pelatihan yang lebih baik. Selanjutnya di Padang Panjang berdiri Keutamaan Istri Minangkabau yang membangun beberapa sekolah dan mengajarkan pengetahuan sederhana mengenai kehidupan berumah tangga. Dua surat kabar yaitu Suara Perempuan (Padang) dan Perempuan Bergerak (Medan) terbit pada periode yang sama. Semua perkumpulan dan terbitan berkala tersebut berasal dari kelas atas atau terkemuka di masyarakat.

Pada masa itu, semua organisasi yang berdiri beserta publikasi yang dikeluarkan masih bersifat sosial. Semuanya bertujuan meningkatkan martabat perempuan dengan memberikan pendidikan di bidang rumah tangga, jahit-menjahit, kursus-kursus tentang cara merawat dan mendidik anak, dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut telah menjadi wadah bagi perempuan dari golongan atas dan menengah yang biasanya dikurung di dalam rumah. Dengan kehadiran organisasi-organisasi tersebut, mereka dapat bertemu dengan kalangan perempuan dari kelas bawah dan memperjuangkan emansipasi bersama-sama. Organisasi-organisasi pemuda juga membentuk organisasi khusus bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dalam organisasi pemuda menyadari bahwa kemajuan dan kemerdekaan Indonesia tidak akan terwujud jika kaum perempuan Indonesia tidak memiliki pendidikan dan ketangguhan yang sama seperti kaum lelaki. Oleh karenanya, banyak organisasi kepemudaan kala itu seperti Jong Java (1915), federasi pemuda rakyat Sumatra (1917), Jong Minahasa (1918), Jong Ambon, dan Jong Sulawesi yang menyambut kaum perempuan untuk menjadi anggotanya.

Sejak awal, perjuangan kaum perempuan menitikberatkan pada pentingnya sistem pendidikan modern. Namun, hal tersebut belum dapat diwujudkan pada awal 1900. Pada tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda hanya menyediakan dana kurang dari 1,5 juta gulden untuk pengembangan pendidikan 40 juta penduduk Indonesia (Abendanon, c. 1900). Pada tahun 1917, pemerintah mengeluarkan 6 juta gulden untuk membiayai pendidikan 50 juta penduduk Indonesia, tetapi dana tambahan tersebut belum dapat memenuhi semua kebutuhan murid karena keterbatasan jumlah guru dan gedung sekolah. Dari tahun 1908 sampai tahun 1914 terjadi peningkatan jumlah murid perempuan hingga 300 persen di Jawa dan Madura, tetapi peningkatan tersebut tidak sebanding dengan tenaga pendidik yang tersedia. Meskipun demikian, situasi tersebut mulai berubah pada 1920. Sebuah laporan Dinas Pendidikan pada tahun 1928 menyebutkan bahwa jumlah murid perempuan di Jawa dan Madura bertambah, dengan 18 persen dari mereka bersekolah di sekolah desa, dan 14 persen lainnya bersekolah di sekolah lanjutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline