Lihat ke Halaman Asli

Risky Arbangi Nopi

suka nulis cem macem

Ujung Tombak (Cerpen)

Diperbarui: 24 Desember 2020   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrator: Setya Widadi

"Selamat, Besok bisa daftar sidang."

Dan tentu saja, aku tak percaya. Bagaimana, jika ini hanya sekedar mimpi. Pasti tumpah harapanku. Harapan tahun ini menyudahi hasil bimbingan yang kian datang dan pergi. Semangat yang mulai pudar. Kesendirian. Lalu mulai kucoba mengulang lagi, mengetuk semangat baru. Memang sudah tak semudah dan tak semuda dulu. 

Terlalu lama. Semangatku kadang-kadang datang tiap kesendirian melanda. Seperti buruh pabrik yang merindukan kampung halaman. Kadang semangat berbicara sendiri melalui pikiranku. Kadang ada rasa takut dan tak bisa melakukan semua harapanku. Diam adalah ketenangan sendiri. Seperti danau yang dingin tertutup dedaunan hijau yang rindang. Kadang-kadang temanku benar dalam ucapannya. Sering kali ada hal yang bisatercapai, padahal belum kau coba. Berubah adalah hal yang pasti. Temanku memaksa padaku untuk lebih berani. Dan mungkin itu benar. Dan aku hanya kurang mencoba.

            "Yang benar pak?"

            "Selamat." Pembimbing yang selalu aku temui tiap hari. Dan aku hanya bisa memandang hari ini. Dia kuat seperti ombak menerjang kapal kapal pencuri ikan di perbatasan. Mampu membawa harapanku yang sederhana. Cepat selesai adalah rindu di ujung tombak. Rindu dengan harapan menuntaskan janjiku kepada kekasihku. Agar tak akan ada lagi sebuah tanda tanya. Tentang kenapa. Seperti kasus air keras yang menyiram korban dengan alasan tidak sengaja.

            Otakku terbagi menjadi dua. Satu kebahagiaan, dan satu kesedihan. Ada bom melanda dan menerjang kebahagiaanku. Aku baru saja kehilangan cinta. Baru saja, setelah kata "Selamat" menyapa diriku. Yang kumili sekarang hanyalah diriku sendiri. Harapanku hilang seperti tertampar ombak dasyat. Kebahagiaan bercampur duka. Aku merasa sendiri, bahkan tubuhmu serasa telanjang. Tak ada selimut untuk menutup diriku. Sendiri. Kehangatanku hilang, lalu pergi.

***

Ia datang tanpa mengetuk lalu merangkulku

Adapun ia yang licik bernama duka.

Ia bulan jingga neraka langit dadaku

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline