Macam--macam masalah biasanya kerap kali mengganjal di hati. Entah itu kejadian dari segala sumber yang terletak di dalam diri. Hal itu, tidak jauh dari sumber kurangnya sebuah komunikasi yang jarang diselesaikan atau bahkan disepelekan. Komunikasi sebagai wadah mengepresikan diri.
Seseorang memanfaatkan komunikasi untuk mengeluarkan sumber dari masalah yang ada di dalam otaknya. Dan kemudian, hadirnya sebuah keterbukaan atau mengenalkan bahwa ide atau gagasan yang ada di dalam otak bisa tersampaikan dengan baik dan jelas.
Menghadirkan komunikasi yang baik, jelas, tertata, mudah dimengerti mempunyai daya tarik bagi si pendengar. Akan tetapi, komunikasi jarang dilakukan dengan baik, dan bahkan kerap kali menimbulkan masalah dan berbagai aspek asumsi. Padahal, sumber dari segala masalah adalah terletak dari adanya kurang komunikasi, baik dari segi hubungan, dunia kerja, maupun hal sekitar.
Dalam Hubungan
Pernah dengar tidak, kalimat seperti ini? "Kenapa sih kamu gak pernah dengerin. Selalu kaya ngomong sama tembok," percakapan semacam itu sering kali dialami dalam sebuah hubungan. Mari kita kulik lebih dalam, kok bisa sih terjadi seperti itu? Padahal sudah tau, lawan bicaranya enggak pernah dengerin, malah cenderung menyepelekan. Seakan-akan seperti tembok yang hanya diam enggak ada respon sedikitpun. Memangnya, waktu awal kenalan enggak seperti itu, atau malah justru baru terlihat ketika memiliki suatu masalah dalam hubungan.
Seringkali seseorang luput dengan pertemuan pertama terhadap lawan bicaranya. Ataukah dalam sebuah awal seseorang kerap kali menampilkan kepalsuan atas topeng yang ia kenakan? Hal itu tidak bisa di tampik, sebab sudah sewajarnya seseorang lebih cenderung menampilkan sisi terbaiknya.
Tak jarang dari lawan bicara atau target akan terkesima dengan sebuah tampilan awalanya. Kembali lagi dengan masalah komunikasi, sebenarnya memang penting dalam hubungan ketika ada masalah diselesaikan dengan komunikasi bersama. Kenapa? sebab, sumber dari masalah kurangnya keterbukaa satu sama lain. Di sisi lain, satu pihak sangat aktif berkomunikasi untuk sebuah kelancaran hubungan, tetapi di lain pihak malah sebaliknya, dan bahkan cenderung pasif. Seperti menghilang atau biasa di sebut ghosting, menganggap masalah baik-baik saja padahal tidak sama sekali.
Maka dari itu, kita harus belajar dari masalah kemarin yang sempat bikin tidak baik-baik saja. Memang, belajar terbuka dalam komunikasi amat sulit untuk memulainya. Terlebih orang tersebut memang cenderung cuek, bahkan pendiam. Belajar memang sulit, tapi sangat mudah untuk menghentikannya. Kataya "Memulai" itu adalah 50% bagian dari proses itu sendiri. Ngomong-ngomong kalau itu katanya, bisa di bilang benar juga. Tinggal berani dengan prosesnya atau tidak.
Ngomong-ngomong masalah komunikasi, sebenarnya sumber kedua dari masalah yang perlu ditelaah tidak harus kepada orang pertama (pelaku) terlebih dahulu. Saya sering berjumpa dengan teman saya ketika sedang mengobrol sesuatu yang ketika hal itu mengganjal di pikirannya, "
Kenapa ya, anak ini kok tak pernah terbuka, lebih suka diem?" hal yang perlu dilakukan adalah, jangan dulu berasumsi bahwa orang yang tidak mau terbuka (dalam artian mengutarakan kisahnya) bukan berarti orang tersebut malas membuka topik terhadap lawan bicaranya atau tak percaya akan kerahasiaannya akan terbeberkan. Asumsi itu belum sepenuhnya benar, bisa jadi si anak memang punya masa lalu yang mungkin sulit untuk di ceritakan. Sehingga, si anak cenderung lebih suka memilih diam dan menjaga rahasianya rapat-rapat.
Langkah selanjutnya yang perlu di perhatikan adalah, melihat dari latar belakang si anak tersebut. Kenapa tak pernah terbuka untuk sekedar berkomunikasi ringan. Melihat latar belakang dari keluarganya memang perlu, seperti apa sih kehidupan yang dijalaninya, apakah harmonis, atau cenderung pendiam dan renggang.