Lihat ke Halaman Asli

windu

pro populi discimus

Relevansi Permohonan Maaf Pemerintah Belanda atas Tragedi Gerbong Maut

Diperbarui: 23 November 2020   09:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

23 November, selalu diperingati sebagai tragedi yang kita kenal dengan nama Tragedi Gerbong Maut. Yaitu para tahanan perang Bondowoso yang dipaksa masuk ke gerbong kereta barang yang saling berdesakan dan sesak. Tahanan perang yang akan dipindahkan dari Penjara Bondowoso ke Surabaya.

Tragedi Kemanusiaan yang terjadi di Bondowoso Tahun 1947. Ketika Belanda bertindak sepihak sebagai jawaban atas ketidakpuasan Belanda dengan Perjanjian Linggarjati (1946) hingga melakukan agresi militer.

Agresi tersebut dilancarkan di Jawa dan Sumatra, daerah dalam Perjanjian Linggarjati secara de facto sebagai wilayah Republik Indonesia (Depdikbud, 2001). Dengan tujuan untuk menduduki kembali kota dan daerah yang dianggap penting secara politik maupun ekonomi. Disamping itu juga untuk mempersempit wilayah Indonesia secara riil.

Dalam agresi yang biasa disebut Agresi Belanda I (satu) ini, Belanda berhasil menduduki beberapa daerah penting di Jawa dan Sumatra. Tanpa terkecuali daerah di Jawa Timur yaitu Bondowoso. Perhitungan terhadap Bondowoso bisa jadi sesuai dengan topografinya yang strategis memetakan daerah di sekelilingnya.

Selain lokasi strategis untuk memetakan pergerakan musuh, Bondowoso juga sebagai ibu kota Karesidenan Besuki dan menjadi salah satu lumbung padi di masa itu, dapat dikatakan gudang berasnya Jawa Timur (Depdikbud, 2001). Dengan mampu mendistribusikan beras hingga di luar provensi bahkan ke Yogyakarta pada zaman revolusi fisik itu menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia.

Melalui beras dari ujung Jawa Timur ini lah pemerintah saat itu mempu mengekspor beras ke India dengan cara menembus blokade Belanda dan dari India pula, pemerintah memperoleh pembayaran berupa sejumlah besar alat perlengkapan perang Republik Indonesia. Karena diplomasi ini, diplomasi kedua negara ini disebut "Diplomasi Beras".

Selanjutnya, ketika Belanda berhasil memukul mundur tentara Indonesia yang bermarkas di Bondowoso dan mendudukinya. Sampai melakukan penangkapan besar-besaran hingga membuat membeludaknya tahanan yang terdapat di Bondowoso. Belanda memiliki inisiatif untuk mengurangi jumlah tahanan dengan memindahkannya ke Surabaya.

Inilah puncak tragedi kemanusiaan yang biadab dikenal dengan nama Tragedi Gerbong Maut. 13 (tiga belas) jam berada pada gerbong kereta barang tanpa ventilasi sebagai alat keluar masuknya udara, dari Stasiun Bondowoso menuju Surabaya. Mengingat, yang kita ketahui perjalanannya melewati Jember, Probolinggo harus berhenti sembari menunggu kereta lewat secara bergantian jika berhenti pada stasiun Jember dan Probolinggo.

Para tahanan ini tidak diberi makan maupun minum. Praktis, dari 100 (seratus) orang yang di bawa dengan pembagian dalam tiga gerbong, 32 orang pada gerbong pertama No.GR5769, 30 orang pada gerbong kedua No. GR4416 dan 38 orang pada gerbong terakhir dengan No. GR10151. 46 orang diantaranya meninggal dunia. Sisanya 12 orang sakit parah, 30 orang tidak berdaya, 12 orang lagi sehat (Monumen Perjuangan Jawa Timur, 1986)

Memang secara general, Pemerintah Belanda pernah meminta maaf langsung kepada Pemerintah Indonesia terhadap penjajahan yang pernah berlangsung di Indonesia oleh Belanda. Bahkan Belanda siap memberikan kompensasi kepada janda dan anak yatim korban kebiadaban tentara Belanda pasca-Proklamasi.

Pemberian kompensasi tersebut dengan syarat bahwa keluarga mampu memberikan bukti yang terdokumentasi atau memiliki bukti dokumen yang membuktikan bahwa keluarga yang ditinggal merupakan keluarga dari korban kebiadaban tentara Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline