Naya membungkuk setelah merogoh pakaian yang telah ia cuci di mesin itu. Matanya menyipit seolah ada butir emas jatuh ke lantai bersamaan ia menaruh pakaian itu di keranjang.
Sebuah memory card menjadi pusat perhatianya kini dan sebuah pemantik di kolong mesin.
Dengan perasaan takut, Naya mengambil benda itu dengan hati-hati, menaruhnya ke saku celananya. Dan berusaha untuk tidak berpikiran yang aneh-aneh.
//////
Tiga hari sebelumnya.
Suara-suara berisik desahan manusia itu seolah mengusik Naya saat malam sepulang dari bekerja. Dilewatinya lorong jauh kontrakan berpuluh pintu, gelap lembab sehabis hujan. Sari, tetangga sebelahnya menyambut Naya dengan kepulan asap rokoknya.
"Baru pulang, Nay? Lecek banget kayak abis dipake. Rokok ni."
Naya kemudian duduk disebelah Sari lalu mengembuskan napas. Berat sekali rasanya.
"Gue capek, Sar. Hidup kayak gini-gini terus. Mau sampai kapan pun gue gak bisa lunasin utang orangtua gue."
"Lo nggak mau jual badan aja?"
Naya langsung bangkit, dan menggeleng kemudian masuk ke dalam kontrakannya.