Lihat ke Halaman Asli

Riski PardinataBerutu

Mahasiswan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Pencucian Uang dari Perspektif HAM

Diperbarui: 12 Juni 2024   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Riski pardinata 

Oleh : Riski Pardinata Berutu, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Istilah "money laundering" diterjemahkan dengan "pencucian uang" sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya di singkat dengan (UU TPPU). Money laundering juga sering dikaitkan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Hal ini dikarenakan tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dalam upaya untuk menyembunyikan dan/atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana (proceeds of crime), sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah.

Berkaca dari latar belakang pembentukan UU TPPU, TPPU merupakan kegiatan yang berkaitan dengan transaksi dana-dana yang memiliki nilai sangat fantastis. Praktek TPPU sendiri sering dilakukan dengan menyamarkan asal-usul dana melalui jasa-jasa perbankan, asuransi, pasar modal, serta lintas keuangan lainnya yang merugikan masyarakat dan stabilitas prekonomian nasional (dalam hal ini keuangan negara)

Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa contoh kasus TPPU yang sudah diputus oleh Pengadilan, dan beberapa diantaranya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Salah satu kasus TPPU yang dilakukan oleh Bahasyim Asyifie seorang mantan pejabat Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan di bidang pajak, pada tahaun 2009 di identifikasi memiliki uang pada sejumlah rekening dan/atau produk bank dan/atau investasi atas nama yang bersangkutan dan pihak keluarganya sebesar 64 Milyar. Kemudian masih terdapat kasus-kasus TPPU lainnya seperti, kasus Inong Melinda Dee, kasus Gayus Tambunan, kasus Wa Ode Nurhayati, kasus Panji Gumilang, dan masih banyak kasus-kasus TPPU lainnya yang merugikan keuangan negara.

Berdasarkan contoh kasus-kasus TPPU tersebut yang dalam hal pembuktian-nya sangat sulit untuk dilakukan. Kesulitan dalam pembuktian perbuatan kejahatan TPPU dan pertanggungjawaban aktor intelektual diatasi dengan cara melakukan penelusuran harta kekayaan hasil kejahatan (follow the money). Melalui rezim anti pencucian uang di Indonesia berdasarkan UU TPPU terdapat terobosan penegakan hukum dalam upaya memberantas TPPU. Adapun terobosan-terobosan tersebut antara lain, dalam pembuktiannya dapat dilakukan pengesampingan ketentuan kerahasiaan, penundaan atau penghentian sementara transaksi oleh pihak pelapor (PPATK & Penegak Hukum), proses pembuktian TPPU tidak memerlukan terbuktinya tindak pidana asal lebih dahulu, pembuktian terbalik, perampasan aset, dan pertukaran informasi. Namun terobosan dalam penegakan hukum TPPU sering sekali dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khusunya pada asas pembuktian terbalik.

Pasal 77 UU TPPU terkait dengan Pembuktian Terbalik menyebutkan bahwa "terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayannya bukan merupakan hasil tindak pidana, pada Pasal 78 menyebutkan bahwa" hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana. Pembuktian terbalik dalam UU TPPU sebenarnya bersifat terbatas, yaitu hanya terkait objek harta kekayaannya. Hal ini sesuai dengan prinsip follow the money yang dianut dalam TPPU. Artinya, yang menjadi target pengejaran dari TPPU ini adalah asetnya (objeknya), sehingga pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa hanyalah sebatas tentang kewajiban untuk membuktikan bahwa harta yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana, juga demikian terdakwa tetap diberikan hak dan dijamin haknya untuk tidak memberikan keterangan yang dapat merugikan dirinya sendiri (non self incrimination/the right of silence).

Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya pembuktian terbalik dalam pemeriksaan TPPU tidak bertentangan dan/atau melanggar Hak Asasi Manusia atau pun prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline