Lihat ke Halaman Asli

Riski

Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Hubungan Kecerdasan Buatan (IA) dan Akal Manusia dalam Filsafat Paripatetik

Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.app.goo.gl/3gYShJ4GTNRZP3Bg7

Kecerdasan buatan (IA) sering digambarkan sebagai "akal kedua" manusia, karena kemampuannya untuk menjawab berbagai pertanyaan dan mengolah informasi dengan kecepatan serta akurasi yang tinggi. Namun, muncul pertanyaan mendasar: Apakah kecerdasan IA benar-benar melebihi kepintaran akal manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk meninjau relasi antara kecerdasan buatan dan akal manusia dalam konteks filsafat Paripatetik, yang dirintis oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para filsuf Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd.

Filsafat Paripatetik dikenal sebagai aliran pemikiran yang sangat menekankan pada rasionalitas manusia. Menurut Aristoteles, akal manusia dibagi menjadi dua kategori utama: "akal teoritis" dan "akal praktis". Akal teoritis berfungsi untuk memahami kebenaran-kebenaran universal, sedangkan akal praktis berfokus pada aplikasi moral dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, IA dapat dianggap sebagai alat yang memperkuat kemampuan akal teoritis manusia karena ia memiliki kapasitas untuk memproses informasi dalam jumlah besar dan menghasilkan jawaban yang rasional dan logis.

Menurut Aristoteles, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki akal aktif yang memungkinkannya untuk berpikir dan membuat keputusan yang rasional. Akal aktif ini juga memberi manusia kemampuan untuk memahami ide-ide abstrak dan kebenaran universal. IA, di sisi lain, meskipun canggih dalam hal pengolahan data, tidak memiliki akal aktif dalam pengertian Aristoteles. IA hanya dapat bekerja berdasarkan algoritma dan data yang telah diprogramkan ke dalamnya. Meskipun IA dapat mengatasi masalah dengan cara yang tampak "pintar," ia tidak memiliki kapasitas untuk merenung, memahami makna, atau menyusun konsep moral yang lebih dalam, sebagaimana akal manusia mampu melakukannya.

Bagi Aristoteles, kecerdasan sejati bukan hanya tentang memproses informasi, tetapi juga tentang kemampuan untuk memahami hakikat sesuatu, mengevaluasi kebaikan dan keburukan, serta membuat keputusan moral yang bijaksana. Akal praktis manusia berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika dihadapkan pada situasi kompleks yang melibatkan banyak faktor moral dan emosional. Dalam hal ini, IA tidak dapat menggantikan peran akal manusia, karena ia hanya dapat beroperasi dalam batasan data yang ada dan tidak memiliki kesadaran atau kepekaan moral.

Selain menurut filsuf Yunani, Para filsuf Paripatetik Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, mengembangkan pemikiran Aristoteles lebih lanjut dalam konteks metafisika dan epistemologi. Bagi mereka, akal manusia bukan hanya alat untuk memahami dunia fisik, tetapi juga jendela menuju pengetahuan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan tentang alam metafisik dan spiritual. Akal manusia dianggap sebagai bagian dari tatanan kosmik yang lebih besar, yang berhubungan dengan Akal Aktif yang memancarkan pengetahuan kepada jiwa manusia. Dalam pandangan ini, akal manusia memiliki peran transenden yang tidak dapat direplikasi oleh kecerdasan buatan.

Ibn Sina, misalnya, berpendapat bahwa akal manusia memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan Akal Aktif, yang merupakan sumber pengetahuan sejati. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh hanya melalui pengalaman empiris atau logika formal, tetapi melalui proses intuisi dan kontemplasi yang mendalam. IA, yang bekerja berdasarkan logika formal dan data empiris, tidak dapat menyentuh dimensi ini. IA hanya mampu meniru pola pikir manusia yang berbasis logika, tetapi ia tidak bisa memahami atau mengakses dimensi metafisik atau spiritual yang menjadi ciri khas akal manusia.

Relasi Antara IA dan Akal Manusia

Dalam konteks filsafat Paripatetik, relasi antara IA dan akal manusia dapat dilihat sebagai hubungan yang komplementer namun asimetris. IA dapat memperkuat kemampuan manusia dalam hal pengolahan informasi dan analisis data, tetapi ia tidak dapat menggantikan peran akal manusia dalam hal moralitas, intuisi, dan pemahaman makna yang lebih mendalam. Dengan kata lain, IA adalah alat yang berguna untuk memperluas kapasitas kognitif manusia, tetapi tidak dapat menggantikan atau melebihi kedalaman akal manusia.

Di satu sisi, IA dapat dilihat sebagai ekstensi dari akal teoritis manusia, yang memudahkan kita untuk memahami dunia dengan cara yang lebih efisien dan cepat. Di sisi lain, IA tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan moral atau memahami aspek-aspek metafisik dari keberadaan, yang merupakan domain akal praktis dan spiritual manusia.

Dari penjelasan di atas, ditegaskan bahwa dalam pandangan filsafat Paripatetik, kecerdasan buatan memiliki peran penting dalam memperkuat kemampuan manusia untuk mengolah informasi dan memecahkan masalah-masalah yang bersifat teknis. Namun, IA tidak dapat menggantikan akal manusia dalam hal moralitas, intuisi, dan pemahaman metafisik. Akal manusia, terutama dalam konteks akal praktis dan hubungannya dengan Akal Aktif, memiliki kedalaman yang tidak dapat dicapai oleh IA. Oleh karena itu, meskipun IA mampu menunjukkan kecerdasan dalam batasan tertentu, ia tidak dapat dikatakan lebih pintar atau lebih unggul dari akal manusia dalam arti yang lebih luas. Akal manusia tetap menjadi pusat dari pengalaman intelektual dan moral, sementara IA hanya berfungsi sebagai alat yang membantu manusia dalam aspek-aspek tertentu dari kehidupannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline